Anggap Toa Tak Relevan Jadi Alat Peringatan Dini Banjir, Anies: Ini Boleh Jadi Masuk Museum

Anggap Toa Tak Relevan Jadi Alat Peringatan Dini Banjir, Anies: Ini Boleh Jadi Masuk Museum
Tribunjakarta
Editor: Malda Hot News —Sabtu, 8 Agustus 2020 10:25 WIB

Terasjabar.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta tidak lagi menggunakan pengeras suara Toa sebagai alat peringatan dini banjir.

Hal ini disampaikan Anies dalam video rapat pimpinan (Rapim) yang ditayangkan akun youtbe Pemprov DKI Jakarta.

Dalam video itu, Anies menyebut, pengeras suara tak relevan dijadikan sistem peringatan dini (early warning system) bencana banjir.

“Ini bukan early warning system, tapi ini TOA dan TOA this is not a system,” ucapnya dalam video yang dilihat TribunJakarta.com, Sabtu (8/8/2020).

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun menyindir BPBD yang termakan bujuk rayu dari salah satu perusahaan asal Jepang.

Awalnya, perusahaan itu mempromosikan TOA sebagai alat peringatan dini banjir dengan memberikan hibah beberapa set pengeras suara.

tribunnews
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat melayat Taka (43), petugas PPSU Kelurahan Kelapa Gading Barat yang tewas usai menjadi korban tabrak lari, Kamis (23/7/2020). (TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino)

Anies pun menilai, TOA lebih efektif digunakan sebagai alat peringatan dini bencana tsunami dibandingkan dengan banjir.

Sebab, air kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor cenderung membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya menerjang wilayah Jakarta.

“Kalau banjir kira-kira antara peringatan dengan kejadian berapa menit? Ya lama, kenapa pakai alat begini,” tanya Anies ke anak buahnya itu.

Dibandingkan menggunakan alat asal Jepang itu, Anies menilai lebih efektif apabila memanfaatkan aplikasi WhatsApp atau menggunakan pengeras suara di masjid-masjid yang ada di sekitar bantaran kali.

“Ini cara promosi paling bagus, hibah dulu, setelah itu pengadaan dan strategi mereka (perusahaan Jepang) sukses, lalu kita belanja terus sama mereka,” ujarnya.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun meminta BPBD DKI tak lagi membeli pengeras suara dan segera memuseumkan alat tersebut.

Selain tidak efektf, penggunaan pengeras suara sebagai alat peringatan dini banjir juga terkesan kuno atau ketinggalan zaman.

“Jangan diteruskan belanja ini (TOA) dan ini boleh jadi masuk museum sebagai contoh sukses promosi barang. (Mereka) hibah dulu, kemudian kita suka dan kita tidak berpikir maksudnya tapi berpikir alatnya, padahal alatnya tidak relevan,” kata Anies.

tribunnews
Permukiman warga di pesisir Muara Angke, Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, masih terendam banjir rob, Senin (8/6/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/GERALD LEONARDO AGUSTINO)

Selama musim hujan di awal tahun 2020 ini, pengeras suara TOA ini memang cenderung tak berfungsi.

Untuk itu, ia meminta BPBD DKI berkolaborasi dengan Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) untuk menyusun sistem penanganan banjir yang lebih efektif.

Sistem penanganan banjir itu nantinya juga bakal digunakan sebagai standar operasional prosedur (SOP) penanganan banjir untuk semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

“BPBD koordinir, siapkan protap dan petanya. Jadi, sebelum kejadian kita sudah siap. Hari ini kalau kejadian (banjir) kita gelagapan, seakan-akan banjir pertama. Padahal tanah itu sudah puluhan tahun kena banjir,” tuturnya.

Seperti diketahui, pembelian enam set toa atau pengeras suara untuk sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) banjir sempat menuai polemik di awal tahun 2020 ini.

Selain menghabiskan anggaran Rp 4 miliar, pengadaan pengeras suara sebagai sistem peringatan dini juga dinilai sebagai cara kuno.

BPBD DKI Jakarta sendiri sampai saat ini telah memiliki 14 TOA sebagai sistem peringatan dini bencana (Disaster Warning System/DWS) yang tersebar di beberapa wilayah.

Kepala Pusat Data dan Informasi pada BPBD DKI Jakarta Muhammad Ridwan mengklaim, satu set pengeras suara itu memiliki jangkauan mencapai 500 meter.

Artinya permukiman warga yang berada di sekitar radius 500 meter akan mendapat informasi terkini bila status kali atau sungai telah masuk siaga 3.

“DWS ini merupakan alat berupa speaker jarak jauh yang berfungsi mengumumkan informasi kepada masyarakat pada daerah rawan banjir yang dibunyikan saat pintu air alirannya siaga 3,” ujarnya, Senin (13/1/2020).

Berikut daftarnya :

14 titik DWS yang sudah ada
1. Ulujami, Jakarta Selatan
2. Petogogan, Jakarta Selatan
3. Cipulir, Jakarta Selatan
4. Pengadegan, Jakarta Selatan
5. Cilandak Timur, Jakarta Selatan
6. Pejaten Timur, Jakarta Selatan
7. Rawa Buaya, Jakarta Barat
8. Kapuk, Jakarta Barat
9. Kembangan Utara, Jakarta Barat
10. Kampung Melayu, Jakarta Timur
11. Bidara Cina, Jakarta Timur
12. Cawang, Jakarta Timur
13. Cipinang Melayu, Jakarta Timur
14. Kebon Pala, Jakarta Timur

Anies Baswedan: Padahal Kejadiannya Tiap Tahun

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencecar anak buahnya yang dianggap gagap dalam mengantisipasi banjir yang kerap melanda ibu kota.

Menurutnya, penanganan banjir yang selama ini dilalukan oleh anak buahnya itu terkesan mendadak.

Padahal, banjir sendiri seolah menjadi Tradisi di Jakarta setiap musim hujan tiba.

"Setiap tahun (penanganan banjir) kita buat seakan baru pertama kali, kita anggap ini kejadian insidental. Padahal, kejadian ini tiap tahun," ucapnya dalam video rapat yang dilihat TribunJakarta.com, Jumat (7/8/2020).

Anies menilai, hal ini tak terlepas dari tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) terkait antisipasi, penanganan genangan banjir, dan penanganan sesudah air surut (recovery).

Untuk itu, ia meminta jajarannya segera menyusun SOP dan membuat sistem peringatan dini agar banjir bisa diantisipasi, khususnya terkait air kiriman dari wilayah hulu.

"Jadi, kalau Bendungan Katulampa tinggi muka airnya sekian, tempo kirimannya sekian, (pintu air) Manggarai sekian, lalu wilayah mana yang kena banjir itu sudah ada algoritma yang dipakai untuk memprediksi dan mempersiapkan," ujarnya.

Dengan demikian, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bisa segera menyiapkan tenda darurat dan Dinas Kesehatan juga bisa menyiagakan petugasnya.

"Kesiapan seperti ini baru namanya early warning system," kata Anies.

Untuk itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun meminta BPBD segera membuat pemetaan wilayah rawan, sekaligis menyiapkan SOP pengananan banjir.

"Dalam waktu 2 minggu, ini harus sudah selesai. Kalau bisa, ini seperti buku pegangan yang bisa jadi pedoman RT, RW, lurah, dan camat," tuturnya.

Toa Rp 4 Miliar Tak Efektif Sebagai Peringatan Dini Banjir

Pembelian enam set toa atau pengeras suara sebagai sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) banjir sempat menuai polemik di awal tahun 2020 ini.

Selain menghabiskan anggaran Rp 4 miliar, pengadaan pengeras suara sebagai sistem peringatan dini juga dinilai sebagai cara kuno.

Hampir delapan bulan setelah polemik itu muncul, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru menyadari pembelian pengeras suara itu tak efektif.

Dalam rapat bersama jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditayangkan akun youtube Pemprov DKI, Anies pun tampak kecewa dengan pembelian tersebut.

"Ini bukan early warning system, ini toa. Kalau EWS itu kejadian air di Katulampa sekian, lalu Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan, MRT, Satpol PP, seluruhnya tahu wilayah mana yang punya risiko," ucapnya dalam video yang dilihat TribunJakarta.com Jumat (7/8/2020) itu.

"Jadi, sebelum kejadian kita sudah siap antisipasi," sambungnya.

Anies baru menyadari hal ini setelah banjir besar mengepung ibu kota pada awal 2020 lalu.

Padahal, toa tersebut sudah dipasang di sejumlah kelurahan yang rawan banjir.

"Kejadian seakan-akan seperti banjir pertama. Kita menanganinya malah ad hoc. Padahal, tanah itu sudah puluhan tahun kena banjir," ujarnya.

Anies kemudian meminta Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI tak lagi memberi pengeras suara atau toa sebagai sistem peringatan dini.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun meminta BPBD untuk membuat sistem peringatan dini baru yang lebih efektif dan efisien.

"Jangan diteruskan belanja (toa) ini. Toa yang sudah terlanjur ada ya sudah dipakai saja. Tapi, tidak usah ditambah, bangun sistem baru, jangan toa seperti ini," kata Anies.

Alokasikan Rp 5,2 Triliun untuk Penanganan Banjir

Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan anggaran Rp 5,2 triliun dari dana pinjaman yang diberikan oleh pemerintah pusat penanganan banjir.

Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini mengatakan, dana itu digunakan untuk menjalankan sejumlah program yang bakal mulai dikerjakan tahun ini hingga 2022 mendatang.

Program penanganan banjir pertama ialah pembuatan polder atau sistem drainase berbentuk sebidang daratan rendah yang dikeliling tanggul.

Anggaran yang dialokasikan untuk program ini mencapai Rp 786 miliar.

Rinciannya, sebanyak Rp 183 miliar di tahun 2020, Rp 443 miliar di tahun 2021, dan Rp 160 miliar di tahun 2022.

“Rencananya, kami akan membuat polder di Muara Angke, Kali Betik, Teluk Gong, Green Garden, Mangga Dua, Marunda, Pulomas, dan Kamal,” ucapnya dalam rapat yang ditayangkan akun youtube Pemprov DKI dikutip TribunJakarta.com, Kamis (6/8/2020).

Kemudian, anggaran sebesar Rp 333 miliar juga bakal dialokasikan untuk perbaikan pompa-pompa pengendali banjir.

Pasalnya, pompa-pompa yang ada saat ini banyak yang rusak akibat termakan usia sehingga tak maksimal lagi mengatasi banjir yang menerjang ibu kota.

“Seluruh perbaikan pompa baru bisa kita selesaikan dengan timeline 2021 hingga 2030. Rinciannya, per tahun dapat mengganti 30 unit pompa,” ujarnya.

Program penanganan banjir selanjutnya ialah melanjutkan pembangunan waduk di enam lokasi dengan total anggaran mencapai Rp 880 miliar.

Rinciannya, sebanyak Rp 229 miliar dianggarkan di tahun 2020 ini, Rp 471 miliardi tahun 2021, dan Rp 180 miliar di tahun 2022.

“Waduk yan akan kami lanjutkan pembuatannya, yaitu Waduk Pondok Ranggon, Waduk Brigif, Waduk Lebak Bulus, Waduk Cimanggis, Waduk Rambutan, dan Waduk Sunter Selatan,” kata Juaini.

Selanjutnya ialah program peningkatan kapasitas sungai dan drainase atau normalisasi.

Dalam proyek ini, Pemprov DKI berbagi peran dengan pemerintah pusat atau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Pemprov DKI bertugas melakukan pembebasan lahan, sedangkan pengerjaan normalisasi bakal dilakukan oleh pemerintah pusat.

“Untuk pengadaan lahan di tahun 2020 ini, kami mengajukan anggaran Rp 552 miliar. Kemudian, Rp 1,1, triliun di 2021 dan Rp 404 miliar di 2022,” tuturnya.

Adapun lookasi pembebasan lahan itu berada di sepanjang bantaran Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Sunter, Kali Ciliwung, dan Kali Jatikramat.

Program pembangunan tanggul pengamanan pantau atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) juga direncanakan bakal dilanjutkan kembali.

“Tahun ini kami masih perencanaan. Pembangunan fisiknya kami kerjakan di tahun 2021 dengan anggaran Rp 50 miliar,” ucapnya.

Terakhir, program pengadaan alat pembantu pengendalian banjir atau flood supporting system. Ada tiga alat yang dibeli, yaitu alat ukur curah hujan, alat ukur debit sungai, dan kamera CCTV.

Untuk tahun 2020 ini, Pemprov DKI berencana membeli 10 alat pengukur curah hujan, 13 alat ukur debit air, serta 20 set kamera CCTV.

Selanjutnya, pada 2021 Pemprov DKI berencaan membeli 35 alau ukur curah hujan dan 40 set kamera CCTV.

Total anggaran yang dialokasikan untuk program ini sebesar Rp 1,6 miliar di tahun 2020 dan Rp 2 miliar di tahun 2021.

“Jadi, total keseluruhan anggaran yang diajukan untuk pengendalian banjir dari tahun 2020 sampai 2022 berjumlah Rp 5,2 triliun lebih,” ujarnya.

Seperti diberitakan ketahui, Pemprov DKI Jakarta mendapat pinjaman dana dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebesar Rp 12,5 triliun.

Dana bantuan itu bakal diberikan secara bertahap dengan rincian Rp 4,5 triliun di tahun 2020 ini dan Rp 8 trikiun di tahun 2021 mendatang.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut, dana tersebut bakal digunakan untuk menjalankan sejumlah program prioritas.

"Anggaran dialokasikan di tahun 2020 dan 2021 untuk program-program prioritas DKI yang tertunda karena APBD kita berkurang dari Rp 87 triliun menjadi 47 triliun," ucapnya, Senin (27/7/2020).

Beberapa program prioritas itu meliputi penanganan banjir, infrastruktur, program kesehatan, hingga pendidikan.

"Jadi, pak gubernur memastikan bahwa program-program yang menjadi prioritas di tahun 2020 dan 2021 bisa terus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kami dengan APBD yang ada dan bantuan program SMI ini," ujarnya di DPRD DKI.

(Tribunjakarta.com)


DKI Jakarta Banjir Museum


Loading...