Kita melihat ironi: masjid penuh, tetapi korupsi merajalela. Tahlil, pengajian, dan peringatan hari besar agama rutin, tetapi penegakan hukum tebang pilih. Seakan-akan agama dipeluk di mulut dan seremonial, tetapi diabaikan dalam praktik sosial.
Mengapa Negara Tanpa Agama Bisa Lebih Adil?
Pertanyaan yang sering muncul adalah: mengapa justru negara-negara yang secara formal sekuler, bahkan ada yang nyaris tanpa tradisi agama, bisa lebih adil dan makmur?
Jawabannya, karena mereka mempraktikkan nilai-nilai keadilan yang sejatinya merupakan inti agama itu sendiri. Mereka menegakkan hukum tanpa pandang bulu, melindungi hak rakyat, menghargai waktu, bekerja dengan profesional, dan menanamkan integritas.
Ibnu Taimiyah pernah berkata:
إِنَّ اللَّهَ يُقِيمُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يُقِيمُ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُسْلِمَةً
Allah menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negara yang zalim meskipun Muslim.
Ungkapan ini menampar kesadaran kita. Negara kafir yang adil bisa berdiri tegak, sementara negara Muslim yang zalim bisa hancur, meskipun penuh doa dan ibadah.
Kritik untuk Kita :
Di negeri ini, jumlah umat beragama begitu besar. Tetapi apakah keadilan menjadi karakter bangsa? Faktanya, hukum sering tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil dihukum keras, sementara pejabat korup bisa bebas dengan alasan formalitas hukum.
Agama seharusnya melahirkan integritas. Tetapi jika agama hanya berhenti pada seremonial, tidak heran jika praktik ketidakadilan, kezhaliman, korupsi, dan kriminalitas justru merajalela di negeri-negeri yang mengaku beragama.
Harapan ke Depan :
Seharusnya, negara yang mayoritas beragama jauh lebih makmur daripada negara tanpa agama. Sebab, agama mengajarkan adab, moral, dan aturan ilahi. Tetapi itu semua hanya mungkin jika agama benar-benar dihayati, bukan sekadar dipolitisasi.