(Refleksi Kita di Era Digital)
Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial & Magister Komunikasi, Universitas Bakrie
Kita hidup dalam sebuah dunia yang bergerak lebih cepat daripada kemampuan manusia untuk memaknainya. Kecepatan bukan lagi sekadar fasilitas, ia telah berubah menjadi budaya, bahkan ideologi. Pesan datang dalam hitungan detik, respons ditagih tanpa jeda, dan kehidupan seakan berlomba untuk menjadi yang paling cepat tampil dan paling cepat terlihat. Namun, dalam deru kecepatan itu, ada sesuatu yang pelan-pelan hilang, kedalaman batin. Kita menjadi manusia yang berlari tanpa arah, merasa tanpa jeda, bereaksi tanpa refleksi.
Paul Virilio, filsuf Prancis, menyebut fenomena ini sebagai dromologi, ilmu tentang kecepatan yang menjadi logika baru dunia modern. Ia menulis bahwa ketika kecepatan menjadi pusat kehidupan, manusia kehilangan kemampuannya untuk merenung. Kita menekan tombol “unggah” lebih cepat daripada kita menimbang konsekuensinya. Kita membagikan emosi lebih cepat daripada memahaminya. Dan kita menilai sesuatu lebih cepat daripada memverifikasi kebenarannya. Di sini, kecepatan bukan lagi media, tetapi nilai itu sendiri. “Yang cepat dianggap benar, yang lambat dianggap gagal.”
Di waktu yang sama, sosiolog Zygmunt Bauman menggambarkan masyarakat kini sebagai masyarakat likuid masyarakat yang cair, mudah berubah, dan sulit memiliki bentuk tetap. Hubungan, komitmen, bahkan nilai moral menjadi fluktuatif. Ketika emosi, opini, dan kepercayaan berubah secepat jempol menggulir layar, kita perlahan kehilangan keteguhan yang dulu menjadi pondasi pribadi manusia. Ketenangan digantikan oleh kegaduhan. Kedalaman digantikan oleh citra. Kehatihatian digantikan oleh keinginan tampil.
Hartmut Rosa menambahkan lapisan penting melalui konsep akselerasi sosial. Ia menyatakan bahwa manusia modern mengalami percepatan di tiga dimensi, teknologi, interaksi sosial, dan ritme kehidupan. Kita bisa berkomunikasi lebih cepat, bergerak lebih cepat, bekerja lebih cepat, tetapi kemampuan jiwa untuk memahami perubahan itu tidak ikut dipercepat.
Akhirnya muncul kesenjangan antara kecepatan dunia dan kemampuan batin untuk menampungnya. Hasilnya bukanlah kemajuan, melainkan kelelahan eksistensial. Kita merasa sibuk, tapi kosong. Berjejaring, tapi sepi. Tahu banyak hal, tapi tidak punya ruang untuk memikirkan apa artinya bagi hidup.

















