Oleh : Subchan Daragana
Magister Komunikasi UBakrie
Keadilan adalah inti dari agama
Agama bukan sekadar pakaian, melainkan energi untuk menegakkan keadilan sosial. Bila nilai adil benar-benar menjadi karakter bangsa, barulah doa-doa di rumah ibadah menemukan maknanya dalam kehidupan nyata.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, agama hadir begitu dominan. Masjid, gereja, vihara, dan rumah ibadah selalu ramai. Doa mengalun setiap hari, khutbah dan ceramah bergema di berbagai ruang publik. Namun ada sebuah ironi besar: semakin religius sebuah bangsa, semakin sulit pula kita menemukan keadilan yang nyata.
Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan adalah pilar utama kehidupan bermasyarakat.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
Inna Allāha ya’muru bil-‘adli wal-ihsān
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Rasulullah ﷺ juga mengangkat tinggi kedudukan pemimpin yang adil:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ
Innal-muq’siṭīna ‘indallāhi ‘alā manābira min nūr
“Sesungguhnya orang-orang yang adil kelak di sisi Allah berada di mimbar-mimbar dari cahaya.” (HR. Muslim)
Artinya, agama menempatkan keadilan sebagai inti, bukan sekadar pelengkap. Tetapi, mengapa negara-negara dengan mayoritas masyarakat beragama justru sering gagal menegakkan keadilan?
Agama Ada, Tapi Dipolitisasi :
Salah satu sebabnya adalah agama hanya berhenti pada simbol. Ia sering dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan, bukan ruh yang menuntun kebijakan. Hasilnya, agama hadir di ruang publik, tetapi nilai-nilainya—seperti keadilan, amanah, dan anti-korupsi—justru terpinggirkan.