Sisi Gelap Algoritma
Namun, janji manis itu datang dengan harga mahal. Dalam ekonomi, budaya konsumtif semakin menguat. Fitur pay later mendorong banyak orang berbelanja barang yang tidak dibutuhkan, berakhir dengan jeratan hutang. Pinjol bahkan menjerat masyarakat dengan bunga tinggi. Bukannya membantu, justru menambah beban.
Dalam politik, algoritma menciptakan polarisasi. Kita hanya melihat konten yang memperkuat pilihan kita. Lawan politik dianggap musuh, diskusi sehat digantikan perang komentar. Demokrasi pun dangkal, lebih mementingkan viralitas ketimbang kualitas gagasan.
Dalam pendidikan, algoritma membentuk generasi yang terbiasa dengan konten instan. Rentang konsentrasi pendek, daya tahan belajar menurun. Guru pun kehilangan sebagian otoritas karena murid lebih percaya pada “guru algoritma” di TikTok atau YouTube.
Dalam kehidupan moral dan agama, algoritma mempercepat degradasi nilai. Budaya instan bertentangan dengan ajaran agama yang menekankan kesabaran dan proses. Konten negatif—dari ujaran kebencian, pornografi, hingga judi online—mudah sekali menyebar. Algoritma tidak peduli pada nilai, hanya pada keterlibatan (engagement).
Struktur Sosial yang Bergeser
Indonesia sedang menyaksikan lahirnya kelas sosial digital. Mereka yang mampu memanfaatkan algoritma—sebagai kreator konten atau pengusaha online—menikmati keuntungan. Sebaliknya, mereka yang hanya jadi konsumen pasif justru terpinggirkan.
Otoritas sosial juga bergeser. Guru, tokoh agama, bahkan media arus utama kehilangan wibawa. Anak muda lebih percaya pada konten viral dibanding nasihat yang penuh kebijaksanaan. Norma gotong royong dan kesabaran terkikis oleh logika instan dan individualisme algoritmik.
Jalan Tengah: Etika Algoritma
Pertanyaan besar bagi kita adalah: bagaimana menakar manfaat dan mudharat algoritma? Jawabannya bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan mengelolanya.
Pertama, pemerintah harus hadir melalui regulasi digital progresif. Kominfo tidak cukup hanya jadi “pemadam kebakaran” menutup situs judi online, tapi harus mampu memastikan algoritma bekerja untuk kepentingan publik. China, misalnya, tegas membatasi jam bermain game anak-anak. Singapura sudah cemas dengan dampak sosial media pada generasi mudanya. Indonesia tidak boleh terlambat.
Kedua, literasi digital kritis harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Anak muda perlu tahu bahwa algoritma mengatur apa yang mereka lihat, sehingga mereka bisa bersikap kritis, bukan pasrah.
Ketiga, nilai agama dan budaya lokal harus dijadikan penyeimbang. Islam mengajarkan kesabaran, gotong royong, dan tawakal. Nilai ini bisa jadi benteng menghadapi budaya instan.
Keempat, kita perlu memperkuat ruang offline yang sehat. Interaksi sosial nyata, kegiatan budaya, dan pendidikan karakter harus tetap dijaga agar tidak semua hidup kita digantikan oleh layar.
Penutup: Menuju Indonesia Emas 2045
Algoritma bukan sekadar barisan kode. Ia kini menjadi struktur sosial baru yang mengatur cara kita hidup, bekerja, belajar, dan berinteraksi. Jika dibiarkan, kita berisiko menjadi Republik Algoritma: bangsa yang dikendalikan mesin global.
Namun, masa depan tidak harus gelap. Dengan regulasi yang tegas, literasi digital yang kuat, serta nilai agama dan budaya yang hidup, algoritma bisa menjadi alat peradaban. Ia bisa memperkuat, bukan melemahkan.
Menuju Indonesia Emas 2045, kita butuh kemerdekaan baru: bukan hanya di tanah dan laut, tapi juga di ruang digital. ***