“Kami sudah melarang, tapi keluarga tetap bersikeras melanjutkan pernikahan,” kata Atmaja. Setelah sempat dipisahkan, SR kembali membawa SMY ke Sumbawa selama dua hari, dan keluarga perempuan akhirnya menyetujui pernikahan karena khawatir akan fitnah.
Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pelaporan ini bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga sebagai edukasi kepada masyarakat. “Pernikahan anak membawa dampak buruk, mulai dari putus sekolah, risiko kesehatan reproduksi, hingga tekanan psikologis. Kami ingin ada efek jera agar kasus serupa tidak terulang,” ungkap Joko.
Ia juga menyoroti tingkah laku SMY dalam video viral yang tampak janggal, seperti berjoget, berteriak memanggil ibunya, dan berpose dengan simbol “metal,” meskipun ia menegaskan bahwa kondisi psikologis SMY belum dapat disimpulkan tanpa pemeriksaan medis.
Fenomena pernikahan dini di Lombok Tengah bukan hal baru. Budaya merariq, tekanan adat, kemiskinan, dan minimnya edukasi sering menjadi pemicu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi, menyayangkan peristiwa ini dan menyerukan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas serta sosialisasi tentang dampak pernikahan dini. “Anak-anak harus dilindungi, bukan dinikahkan di usia yang belum siap,” tegasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tradisi dan hukum sering kali bertabrakan. Sementara adat Sasak seperti merariq masih dipegang kuat oleh sebagian masyarakat, dampak buruk pernikahan dini—mulai dari putusnya pendidikan hingga risiko kesehatan—tidak bisa diabaikan. Kini, nasib SMY dan SR berada di tangan penegak hukum, sementara masyarakat diharapkan lebih sadar akan pentingnya melindungi hak anak untuk masa depan yang lebih baik.