Kesaksian Korban Tragedi 1965, Seminggu Sekali Diberi Makan Nasi Campur Beling, Tiap Hari Pakan Kuda

Kesaksian Korban Tragedi 1965, Seminggu Sekali Diberi Makan Nasi Campur Beling, Tiap Hari Pakan Kuda
Tribunnews.com
Editor: Malda Teras Viral —Kamis, 1 Oktober 2020 11:28 WIB

Terasjabar.id - Suyatmi (65) masih merasakan kesedihan saat mengenang cerita sang suami yang menjadi korban tragedi 1965 atau tragedi Gerakan 30 September.

Meski usia tak lagi muda, Suyatmi marus terus aktif memperjuangkan hak dan pertanggungjawaban atas penderitaan yang dirasakan para penyintas dan keluarga korban tragedi 1965.

Suaminya, Gimin Harto Sugiarto merupakan mantan tahanan polisi (tapol) Pulau Buru yang sudah ditahan selama 13 tahun 8 bulan.

Air mata Suyatmi tampak menetes ketika menceritakan penangkapan sang suami.

“Pagi itu, suami saya berangkat ke sawah seperti biasa,” terang Suyatmi kepada Tribun pada Rabu (30/9/2020).

Saat itu Gimin tiba-tiba ditangkap dan dipukuli menggunakan rotan oleh beberapa orang berbadan tegap.

Gimin dipaksa untuk mengakui apa saja yang dia sudah perbuat selama bergabung dengan PKI.

Padahal, Gimin sama sekali tidak terlibat dengan partai mana pun.

LIHAT JUGA : 

Gimin hanya aktif di organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan kegiatan fokus pada masalah pangan dan kesejahteraan petani.

Setelah itu, Gimin dan tapol lainnya ditahan di Karanganyar selama tiga bulan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Lapas Nusakambangan selama lima tahun dua bulan.

Selama itu, dia diberi makan gulbul, yang kini dipakai sebagai makanan kuda.

Setiap seminggu sekali, Gimin diberi makan nasi dengan campuran serpihan beling kaca.

Penderitaan yang dialami Gimin di Nusakambangan sama beratnya dengan yang ditanggung oleh Suyatmi.

Selama menunggu suaminya pulang, dia bersama tiga anaknya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari tetangga sekitar.

Sering kali Suyatmi dan keluarganya dicap sebagai PKI dan mendapat berbagai kesulitan untuk mengurus administrasi.

Suatu kali, ia harus meminta tanda tangan kepala desanya. Namun, kepala desa itu menolak.

Katanya, “kamu itu siapa, kok minta tanda tangan ke saya. Sana minta ke tokohnya PKI.”

Suyatmi dan anaknya juga dipermalukan saat mengunjungi suatu pengajian.

Ustaz yang memimpin pengajian tersebut tiba-tiba berkata di depan umum.

“Mas Deni (anak Suyatmi, red) ini mau melanggengkan PKI, ya?,” ujar Suyatmi.

Selain itu, saat anaknya yang lain melamar untuk menjadi polisi, langkahnya terhenti karena sampulde semacam surat kaleng yang isinya menyebutkan kalau dia anak PKI.

Belum lagi saat Gimin akan dibebaskan, Pemuda Pancasila(PP) dan kepala desanya tidak mau menerima Gimin di tengah masyarakat.

Gimin pun akhirnya dipindahkan ke pulau Buru dan ditahan selama 8 tahun 7 bulan.

Penderitaan-penderitaan tersebut tidak membuat Suyatmi menyerah dengan kehidupan.

Dia pun melakukan apa saja untuk menghidupi keluarganya.

Saat ditanya apa saja yang Suyatmi lakukan, dia tidak menjawabnya karena merasa kurang etis jika
dibicarakan.

“Intinya, saya tidak malu ke siapapun, termasuk tetangga," ujar Suyatmi.

Berkat kegigihannya, kisah hidup Suyatmi ditulis di majalah Palawa terbitan Sekretariat Bersama atau SekBer ’65 sebagai salah satu dari tujuh Srikandi yang terus berjuang demi kehidupannya.

Banyak juga dosen dari Universitas Gadjah Mada atau Universitas Indonesia yang datang ke rumahnya untuk meminta Suyatmi bercerita tentang kisah hidupnya saat ditinggal oleh suami.

Sepeninggal suaminya, Suyatmi terus melanjutkan perjuangannya serta mengajak anak-anaknya untuk mengurus SekBer ’65.

“Sudah amanat dari bapak,” katanya.

Kini, SekBer ’65 sudah tersebar di enam kabupaten, di antaranya Cilacap, Temanggung, Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar.

Di Karanganyar sendiri, bupatinya dalam dua periode sudah sanggup berusaha menyelesaikan kasus ’65 dan memberikan fasilitas untuk kesejahteraan mereka.

Suyatmi terus berusaha untukmemperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia, penyintas, dan keluarga penyintas lainnya dapatkan.

Semenjak Program Peduli masuk, masyarakat mulai berhenti mencapnya dengan sebutan PKI.

Selain itu, kebutuhan akan layanan kesehatan mereka juga mulai terpenuhi.

Para orang tua yang sudah lanjut usia juga diberi kemudahan dalam mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Kini, rumah Suyatmi sering dipakai untuk berbagai acara warga, seperti sarasehan, rapat, diskusi atau buka puasa bersama.

Anak bungsunya, Deni, juga dipercaya menjadi ketua Karang Taruna. Walaupun begitu, ada satu harapan Suyatmi yang hingga kini belum terwujud.

Suyatmi bersama penyintas 1965 yang lain tetap bersabar menunggu janji penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat ditepati.

Dia ingin agar pemerintah merehabilitasi nama mereka yang terlanjur tercemar karena cap PKI.

Selain itu, dia juga berharap pemerintah lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan para penyintas lansia dan keluarga penyintas.

Kini, Suyatmi beserta anggota SekBer ’65 bisa berinklusi dengan masyarakat sekitar.

Pandangan negatif tentang mereka berangsur-angsur berubah.

Mereka mulai dilibatkan dalam kegiatan masyarakat sekitar, seperti rapat desa, dan lain sebagainya.

“Saya akan berjuang sampai titik darah penghabisan saya untuk memperjuangkan hak-hak yang seharusnya kami dapat,” tegas Suyatmi. (Tribun Network/kur/wly)



Viral Korban Tragedi Makan Nasi Campur Beling


Loading...