Ribuan Wanita di Bandung Jadi Janda Baru, Ini Penjelasan Psikolog Penyebab 'Banjir' Perceraian

Ribuan Wanita di Bandung Jadi Janda Baru, Ini Penjelasan Psikolog Penyebab 'Banjir' Perceraian
Tribunjabar.id
Editor: Malda Teras Bandung —Rabu, 26 Agustus 2020 13:15 WIB

Terasjabar.id - Di Kabupaten Bandung semenjak masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) atau new normal, tingkat perceraian meningkat tajam.

Hari kemarin terdapat 246 perkara yang terdiri dari gugatan cerai maupun permohonan cerai.

Di bulan juni terdapat 1.102 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung.

Artinya, di bulan lalu ada seribu lebih perempuan di Kabupaten Bandung yang statusnya berubah menjadi janda baru.

Apa yang melatari banyakanya gugatan cerai di Kabupaten bandung? Dan para wanita di Kabupaten Bandung lebih memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan keluarganya?

Menurut Fsikolog Universitas Padjadjaran, Aulia Iskandarsyah, kalau meliahat dari angka memang terjadi lonjakan yang tinggi dari beberapa daerah tentang perceraian.

"Mungkin faktor pencetusnya banyak, namun pandemi Covid 19, ini menjadi memperkuat masalah yang ada," ujar Aulia, saat dihubungi tribun jabar, Senin (24/8/2020).

Aulia mengatakan, contohnya yang tadinya ada masalah ketidak harmonisan dengan adanya pandemi Covid 19 ini, jadi tidak bisa bekerja penghasilan berkurang.

"Yang tadinya masalah ketidak harmonisan ditambah dengan adanya masalah ekonomi dan lainnya. Kemudian juga beban hidup menjadi lebih mahal," kata Aulia.


Menurut Aulia, faktor terjadinya banyak perceraian di Kabupaten Bandung ini, bukan single faktor karena adanya wabah Covid-19.

"Tapi Covid-19 ini mengakselerasi atau memperparah kondisi-kondisi yang sudah ada sebelumnya," ujar dia.

Trutama, kata Aulia, mungkin kalau dari data demografis, justru yang golongan menengah ke bawah yang banyak bercerai.

"Jadi golongan masyarakat terdampak. Terutama misal masalah pekerjaan keuangan yang bisa memperparah kondisi yang sudah ada," ucap dia.

Dengan kondisi seperti ini, kata Aulia, pemerintah harus lebih peka dalam membuat jejaring pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19.

"Contoh meringankan beban anggaran mereka, misal yang tadinya gak ada pulsa untuk anak sekarang harus ada kuota untuk belajar, yang tadinya tidak ada harus ada," katanya.

Jadi menurut Aulia, pemerintah harus lebih peka untuk melihat, membuat jejaring pengaman sosial.

"Kalau mau ada BLT (bantuan langsung tunai) ya berarti harus tepat sasaran kepada orang yang betul membutuhkan," tuturnya.

Aulia memaparkan, untuk orang yang menjalaninya, kondisi ini memang kondisi yang tidak bisa dihindari.

"Artinya berarti orang harus menerima kondisi yang ada dan bisa menyesuaikan dengan kondisi itu," ujar Aulia.

Aulia mengungkapkan, kalau dulu bisa ngojek sebelum pandemi bisa bawa pulang uang Rp 200 ribu, sekarang karena orang jarang pakai hanya bisa membawa Rp 100 ribu, harus menerima karena kondisinya berubah.

"Gak bisa dibandingkan dengan sebelumnya (sebelum adanya pandemi)," katanya.

Dengan menerima ini, kata Aulia, dia bisa menyesuaikan dengan lebih gampang jadi harus ada sikap menerima kondisi normal baru ini.

"Kalau tak menerima jadinya frustrasi, ketika frustrasi bisa terjadi berbagai hal, seperti beratem terus, bisa jadi yang tadinya sedikit gak marah jadi marah, dan banyak hal," ucapnya.

(Tribunjabar.id)


Bandung New Normal Permohonan Soreang


Loading...