Oleh : Subchan Daragana
Pemerhati Sosial / Magister Komunikasi UBakrie
Publik yang Hanya Menyimak :
Era digital membuat masyarakat tidak lagi puas hanya menerima informasi. Mereka aktif memberi komentar, bertanya, bahkan mengoreksi. Publik ingin dilibatkan dan diakui suaranya. Ironisnya, sebagian besar instansi pemerintah masih terjebak dalam pola lama: komunikasi satu arah.
Coba tengok akun media sosial lembaga publik. Kontennya didominasi foto pejabat yang meresmikan proyek, teks panjang penuh jargon birokratis, atau unggahan formal yang terasa dingin. Warga yang datang membawa pertanyaan atau keluhan sering kali dibiarkan tanpa jawaban. Akibatnya, masyarakat merasa tidak dianggap. Mereka hanya menjadi penonton di panggung besar komunikasi pemerintah.
Padahal, publik hidup di era dialog. Mereka ingin berinteraksi, bukan sekadar menyimak. Jika pola monolog dipertahankan, jarak antara pemerintah dan rakyat hanya akan semakin lebar.
Pola Lama yang Usang :
Monolog mungkin masih efektif ketika akses informasi terbatas. Namun, di tengah arus digital yang deras, gaya komunikasi satu arah justru jadi penghalang.
Masyarakat menuntut jawaban cepat saat layanan publik macet. Mereka ingin penjelasan sederhana saat kebijakan baru diumumkan. Mereka juga menanti empati saat krisis terjadi. Sayangnya, yang sering muncul justru kalimat kaku seperti: “Sesuai peraturan, layanan sedang dalam perbaikan.” Alih-alih memberi kejelasan, kalimat semacam ini hanya menambah jarak.
Monolog di tengah era dialog bukan sekadar membosankan, tapi juga berisiko. Publik yang tidak mendapat jawaban akan mencari sumber lain—akun anonim, media alternatif, bahkan hoaks. Ruang kosong itu selalu terisi, dan sering kali diisi oleh informasi yang menyesatkan.