Padahal, bangsa ini dibangun di atas pondasi nilai-nilai yang menekankan kebersamaan dan saling menghormati. Dari musyawarah dalam adat Bali, mapalus di Minahasa, hingga pela gandong di Maluku — semua mengajarkan pentingnya solidaritas. Namun kini, solidaritas sering kali kalah oleh narasi kepentingan pribadi yang diperkuat oleh algoritma digital.
Kita Kehilangan Rasa Malu :
Dalam banyak budaya Nusantara, malu bukan sekadar emosi, tetapi kompas moral. Ia membuat seseorang menahan diri sebelum melakukan kesalahan. Dalam masyarakat Bugis, siri’ adalah benteng kehormatan; di Jawa, isin menjadi pengendali tingkah laku; di Minang, malu menjadi bagian dari martabat keluarga.
Namun kini, rasa malu bergeser makna. Kita justru bangga memamerkan sisi-sisi pribadi yang dulu disembunyikan. Kita menertawakan kesalahan orang lain tanpa empati, seolah tidak pernah berbuat salah. Di ruang digital, batas antara yang pantas dan tidak pantas kian kabur.
Inilah tanda bahwa karakter bangsa tengah kehilangan arah. Karena budaya — yang sejatinya menjadi sumber nilai — mulai tidak lagi dihidupi, hanya diingat saat peringatan hari kebudayaan.
Menumbuhkan Kembali Karakter Lewat Budaya :
Pendidikan karakter tidak akan kuat tanpa akar budaya. Sebagus apa pun kurikulum moral, ia akan hampa jika tidak menyentuh kehidupan nyata masyarakat.
Yang kita butuhkan bukan sekadar pelajaran etika di sekolah, tapi revitalisasi nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari: di rumah, di ruang publik, dan di dunia digital.