Oleh Subchan Daragan/Pemerhati Sosial, Magister Komunikasi Ubakrie
Ada masa ketika orang Indonesia dikenal karena kelembutannya. Ketika sapaan “punten” atau “permisi” terdengar di setiap pintu rumah, dan rasa malu menjadi pagar batin yang menjaga ucapan serta perbuatan. Gotong royong bukan sekedar jargon, melainkan cara hidup. Hari ini, kita perlahan kehilangan itu semua. Dalam ruang digital yang bising, nilai-nilai luhur itu memudar, tergantikan oleh budaya pamer, egoisme, dan komentar tanpa empati.
Kita sedang menyaksikan pergeseran besar dalam jati diri bangsa. Bukan karena kemajuan teknologi itu sendiri, melainkan karena hilangnya akar nilai yang selama ini menjadi penuntun perilaku. Di tengah derasnya arus global dan algoritma media sosial, karakter bangsa menjadi rapuh — kehilangan pijakan dari kebudayaan yang dulu menjadi sumber moral kolektif kita.
Budaya Sebagai Pabrik Karakter :
Sejatinya, budaya lokal kita telah lama menjadi “pabrik karakter” bangsa. Di tanah Sunda, nilai silih asah, silih asih, silih asuh mengajarkan kasih sayang, empati, dan tanggung jawab sosial. Di tanah Jawa, falsafah tepa selira melatih kepekaan hati dan kesadaran diri sebelum menilai orang lain. Di Minangkabau, nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menumbuhkan integritas moral dan kejujuran. Di Bugis, filosofi siri’ na pacce menanamkan rasa malu dan harga diri yang tinggi, bukan karena takut dicemooh, tapi karena ingin menjaga kehormatan.
Setiap suku di Nusantara memiliki nilai-nilai luhur yang menumbuhkan watak manusia berkarakter — jujur, sopan, empatik, dan bertanggung jawab. Nilai-nilai itu tumbuh dari kehidupan sosial yang nyata: dari sawah, pasar, balai desa, hingga rumah adat. Namun kini, banyak dari ruang itu telah bergeser ke layar kecil di genggaman tangan.
Dari Gotong Royong ke Kompetisi Dingin :
Di dunia digital, kecepatan sering kali lebih dihargai daripada kearifan. Kita hidup di zaman di mana unggahan di media sosial bisa menentukan citra diri, dan jumlah likes bisa menjadi tolok ukur harga diri. Akibatnya, budaya pamer tumbuh subur, menggantikan kesederhanaan yang dulu dijunjung tinggi.
Gotong royong berganti dengan kompetisi yang dingin.
Rasa malu tergantikan oleh kebanggaan semu dalam menampilkan privasi. Kejujuran kian jarang, sopan santun dianggap kuno, dan empati semakin sulit ditemukan di antara komentar-komentar tajam di ruang maya. Fenomena doxing dan cancel culture menjadi bentuk baru dari penghancuran sosial yang dulu dianggap memalukan.