Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial , Magister Komunikasi UBakrie
Kita sedang hidup di zaman yang aneh, zaman ketika orang tidak lagi malu mempertontonkan aibnya sendiri, ketika kemiskinan dijadikan konten untuk menarik simpati, dan ketika kehormatan bisa ditukar dengan uang serta popularitas.
Semua berlomba menampilkan diri di layar, tanpa sadar kadang yang ditampilkan bukan lagi kebaikan, melainkan luka dan kehampaan yang dijadikan tontonan. Dulu, orang menutup rapat-rapat aib keluarganya. Orang miskin menahan diri agar tidak menjual kesedihan demi belas kasihan. Tapi kini, banyak yang justru mencari kamera ketika hidupnya sedang hancur. Semua demi satu hal: perhatian.
Ketika Privasi Jadi Konsumsi Publik :
Media sosial awalnya dibuat untuk berbagi cerita dan berkomunikasi. Tapi lambat laun, ia berubah jadi panggung besar tempat orang berlomba-lomba dilihat. Setiap postingan, setiap status, seolah menjadi alat ukur nilai diri. Semakin banyak yang menyukai, semakin tinggi rasa percaya diri.
Namun, semakin sedikit yang menanggapi, semakin rendah pula harga diri di mata sendiri. Itulah jebakan zaman ini kita mencari makna diri lewat pengakuan orang lain. Padahal, manusia yang terlalu bergantung pada pujian akan mudah hancur oleh cemooh.
Kemiskinan dan Kesedihan yang Dijadikan Hiburan :
Kini muncul istilah baru: poverty porn , tontonan yang memamerkan kemiskinan untuk menarik empati. Anak kecil dijadikan konten karena hidupnya susah, ibu tua direkam sedang menangis, atau keluarga miskin dipertontonkan seolah sinetron kehidupan.
Banyak yang menonton sambil menitikkan air mata, lalu menulis komentar “Semoga Allah bantu. ”Tapi setelah itu? Hidup berjalan seperti biasa. Tak ada perubahan berarti bagi mereka yang ditonton. Kita memang lebih mudah bersedih di depan layar daripada bergerak di dunia nyata. Padahal empati sejati bukan sekadar rasa iba, tapi keberanian untuk ikut menolong tanpa kamera.
Ketika Popularitas Mengalahkan Harga Diri :
Tak sedikit orang rela menanggalkan kehormatan demi viral. Ada yang mengaku sengaja menampilkan hal memalukan karena “yang penting ‘FYP”. Kita tahu harga diri adalah hal yang paling mahal yang bisa dimiliki manusia. Kita seperti sedang hidup di dunia terbalik di mana kejujuran kalah oleh sensasi, kesederhanaan kalah oleh drama, dan kebenaran tenggelam oleh jumlah penonton.
Zaman ini membuat banyak orang berpikir bahwa dilihat lebih penting daripada bermakna. Padahal dalam hidup, tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang benar harus viral.
Ketika Algoritma Mengatur Moral :
Masalahnya, kini bukan manusia yang mengatur media sosial tapi algoritma. Sebuah sistem tak terlihat yang hanya tahu satu hal: apa yang membuat orang betah menatap layar lebih lama. Dan biasanya, yang paling menarik perhatian adalah hal-hal yang ekstrem: marah, sedih, malu, dan sensasional.
Akibatnya, konten yang sehat dan bermoral justru tenggelam, kalah oleh konten yang memancing emosi. Itulah yang disebut para ahli sebagai anomali digital ketika dunia maya menciptakan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di sana, dosa bisa jadi hiburan, dan aib bisa jadi mata pencaharian.



















