TERASJABAR.ID – Tahun 2025 diwarnai catatan kontroversial terkait penegakan hukum di Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong (TL) dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto (HK).
Langkah ini menimbulkan perdebatan sengit di publik.
Secara konstitusional, kewenangan ini dilandasi Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang memperbolehkan Presiden memberikan abolisi dan amnesti dengan mempertimbangkan nasihat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selain itu, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi turut mengatur mekanismenya.
Meski sah secara hukum, pemberian pengampunan ini pada kasus bermuatan politik dan dugaan tindak pidana korupsi menimbulkan kekhawatiran serius.
Kasus TL, yang sarat muatan politik, serta HK, yang terkait dugaan korupsi, menyoroti risiko preseden buruk.
Publik mempertanyakan konsistensi penegakan hukum dan integritas mekanisme peradilan yang seharusnya independen.
Campur tangan politik dalam kasus hukum, meskipun konstitusional, dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum.
Tahun 2025 juga menjadi pengingat akan pentingnya prinsip equality before the law.
Penghormatan terhadap proses hukum merupakan pilar utama negara hukum, dan setiap bentuk intervensi politik yang menghentikan atau meringankan proses hukum berpotensi merusak prinsip tersebut.
Kasus abolisi dan amnesti ini menjadi simbol perdebatan lebih luas antara kekuasaan politik dan independensi peradilan.
Sementara pemerintah menekankan dasar konstitusional, masyarakat menyoroti dampak jangka panjangnya terhadap budaya hukum dan akuntabilitas publik.
Sebagai kaleidoskop penutup 2025, langkah ini menegaskan bahwa perjalanan penegakan hukum Indonesia tetap berada di persimpangan antara konstitusi, politik, dan kepercayaan publik.-***












