Dalam kehidupan beragama, fenomena ini lebih mencemaskan. Tadabbur adalah proses pelan, mendalam, dan hening. Namun dunia digital adalah proses cepat, bising, dan dangkal.
Keduanya bentrok.
Ketika hidup terlalu cepat, manusia kehilangan ruang untuk:
berpikir
merenung
mendengar hati
mengingat Allah
Ini sebabnya, meski hidup kita penuh kemudahan, hati kita berat. Meski kita punya banyak teman digital, kita tetap merasa sepi. Meski punya banyak hiburan, jiwa kita letih.
Kita mengejar dopamin dari layar, padahal hati kita rindu ketenangan dari Allah.
Lalu apa dampak terbesar dari semua ini?
Dampak terbesarnya adalah kita berhenti jadi manusia.
Manusia yang Allah ciptakan dengan:
rasa
hati
kehangatan
tatapan
pelukan
keterhubungan
cinta yang hadir
waktu yang bermakna
Namun semua itu dikalahkan oleh layar 6 inci yang kita bawa kemana-mana.
Kita hidup dalam paradoks,
semakin terhubung secara digital, semakin terputus secara emosional.
Tapi kabar baiknya,
Kita tidak harus kalah. Kita masih bisa kembali menjadi manusia seutuhnya.
Bagaimana?
Dengan cara yang sangat sederhana, tetapi amat dalam:
- Puasa digital.
Beri diri 1–2 jam tanpa layar. Biarkan otak sembuh. - Media diet.
Kurangi konten negatif, berhenti doomscrolling, batasi berita buruk. - Hadir ketika bersama orang.
Letakkan HP ketika berbicara. Lihat mata, dengarkan, rasakan. - Hidupkan ruang offline.
Majelis ilmu, ngobrol, jalan, olahraga, kumpul keluarga, merayakan kehadiran. - Ingat Allah lebih dari algoritma.
Waktu shalat, waktu zikir, waktu doa—jangan sentuh ponsel. - Kembalilah ke hati.
Karena hati itu bukan layar. Ia butuh cahaya, bukan sinar biru ponsel.
Dan pada akhirnya, kita harus bertanya:
Apa gunanya teknologi yang begitu pintar, bila ia membuat manusia semakin bodoh dalam merasakan?
Apa gunanya koneksi secepat kilat, bila hubungan kita serapuh kaca?
Apa gunanya hidup serba instan, bila kita kehilangan kedalaman?
Manusia tidak diciptakan untuk hidup pada kecepatan algoritma.
Manusia diciptakan untuk hidup dalam ritme yang selaras dengan fitrah,
ada waktu bergerak, ada waktu berhenti, ada waktu menerima, ada waktu merenung.
Jika kita kehilangan ritme itu, maka benar kita sedang berhenti menjadi manusia.
Namun selama kita masih bisa sadar, masih bisa kembali, masih bisa memeluk keheningan…
maka selalu ada harapan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.***
















