Dalam ruang digital, kita lebih sering melihat wajah yang tersenyum di layar, padahal hati mereka mungkin remuk. Kita melihat kebahagiaan orang lain, lalu membandingkan dengan nestapa kita sendiri. Kita melihat kesuksesan palsu, lalu merasa gagal padahal hidup kita baik-baik saja.
Ini bukan sekadar perubahan perilaku. Ini adalah perubahan cara kita memaknai hidup.
Media sosial memaksa kita mengikuti apa yang tidak kita pahami. Allah sudah memperingatkan dalam QS. Al-Isra: 36, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.”
Namun hari ini, kita mengikuti apa saja yang lewat di layar tanpa ilmu, tanpa sadar, tanpa filter.
Kita mengikuti tren tanpa menimbang nilai. Kita mengikuti opini tanpa menimbang kebenaran. Kita mengikuti emosi tanpa memeriksa hati.
Apa yang viral dianggap benar.
Apa yang banyak ditonton dianggap penting.
Apa yang banyak dibagikan dianggap berharga.
Nilai masyarakat bergeser dari kebenaran moral ke logika trending.
Inilah yang oleh banyak ulama disebut ghaflah modern kelalaian masa kini.
Kita sibuk, tetapi tidak tahu apa yang sedang kita cari.
Kita bergerak, tapi tidak pernah sampai.
Kita online sepanjang waktu, tapi ruh kita offline dari Allah.
Sosiologi media menjelaskan hal ini melalui konsep dromologi emosi (Paul Virilio): kecepatan bukan hanya mengubah cara kita bergerak, tetapi juga cara kita marah, sedih, kecewa, dan berharap.
Segala emosi kini ingin diekspresikan cepat,
marah cepat, lalu menyesal belakangan,
sedih cepat, lalu membuat story,
bahagia cepat, lalu mencari like,
kecewa cepat, lalu menghilang,
Tak ada proses alami.
Tak ada keheningan.
Tak ada kedewasaan yang tumbuh dari waktu.
Emosi kita menjadi tipis.
Kesabaran kita menjadi pendek.
Hubungan kita menjadi rapuh.
Karena itu, para psikolog mengatakan bahwa teknologi mempercepat stimuli, tapi memperlambat pemulihan emosi.
















