Karena itu, kita perlu membangun kembali kecakapan melambat kemampuan untuk mengambil jarak dari layar, memberi ruang bagi pikiran, dan mengembalikan kualitas kehadiran dalam hidup. Kita perlu mengembalikan seni merenung yang hilang. Bukan berarti menolak dunia digital, tetapi menguasainya dengan kesadaran. Menyaring informasi sebelum bereaksi. Menahan diri sebelum menghakimi. Menata emosi sebelum mengekspresikannya. Mengelola layar, bukan dikelola layar.
Pada akhirnya, kita harus kembali pada kenyataan paling dasar, media sosial hanyalah cermin, bukan wajah kita. Ia memantulkan apa yang kita tampilkan, bukan siapa kita sebenarnya. Jika cermin itu retak, jangan menyalahkan pantulannya. Benahilah wajah batin yang berdiri di depannya. Dunia digital adalah alat kitalah yang menentukan ia menjadi ladang kebaikan atau panggung kehampaan.
Kita tidak sedang kekurangan teknologi kita sedang kekurangan kedalaman. Kita tidak sedang kekurangan akses informasi kita sedang kekurangan ruang kontemplasi. Kita tidak sedang kekurangan perhatian orang lain kita sedang kekurangan perhatian kepada diri sendiri.
Dan mungkin, di tengah kecepatan yang gila ini, yang paling kita butuhkan bukanlah akselerasi, tetapi keberanian untuk melambat. Karena pada akhirnya, kecepatan boleh membawa kita ke mana saja, tetapi hanya kedalaman yang mampu membawa kita pulang.

















