TERASJABAR.ID – Anggota Komisi VI DPR RI, Abdul Hakim Bafagih, menyoroti persoalan tata niaga gula nasional yang dinilai merugikan petani tebu.
Ia menilai banyak hasil panen petani tidak terserap oleh pabrik gula karena adanya kebocoran distribusi gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri, namun justru beredar di pasar konsumsi.
“Diduga terjadi perembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Padahal, produk itu hanya diperuntukkan bagi industri. Akibatnya, gula hasil produksi petani tidak terserap dengan baik,” ujar Abdul Hakim, seperti ditulis Parlementaria pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Menurutnya, meskipun Kementerian Perdagangan telah berupaya mengatasi masalah ini, perlu dilakukan evaluasi lebih dalam terhadap akar persoalan, termasuk peran BUMN seperti PTPN III dan PT Rajawali.
“Jika PTPN dan Rajawali mampu memaksimalkan kapasitas produksinya, otomatis serapan tebu petani meningkat dan persoalan ini bisa berkurang,” jelas politisi Fraksi PAN tersebut.
BACA JUGA: Partai Demokrat Fokus Atur Strategi Pemenangan Pemilu 2029
Abdul Hakim juga menekankan pentingnya transparansi dalam perhitungan rendemen (hasil gula dari tebu).
Dengan keterbukaan data ini, petani dapat mengetahui nilai riil hasil panennya serta merencanakan musim tanam berikutnya dengan lebih baik.
Selain itu, ia mengusulkan penerapan skema supply chain financing untuk membantu petani yang kekurangan modal.
Melalui skema ini, kontrak atau Delivery Order (DO) dari pabrik gula bisa dijadikan jaminan bagi perbankan, sehingga petani dapat mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau pembiayaan lainnya untuk menanam kembali.
Abdul Hakim juga menyinggung kebijakan impor gula. Ia menjelaskan bahwa kebutuhan gula konsumsi nasional mencapai sekitar 2,8 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru sekitar 2,5 juta ton.
Kekurangan inilah yang kemudian dipenuhi melalui impor.
Namun, ia menegaskan bahwa impor sebaiknya bukan menjadi solusi utama.
“Jika aset PTPN dan Rajawali dioptimalkan, produksi bisa meningkat. Kemitraan dengan petani juga bisa diperluas sehingga kebutuhan nasional tercukupi, bahkan berpotensi ekspor,” katanya.
Selain peningkatan produksi, ia menilai penting untuk mengedukasi masyarakat agar mengurangi konsumsi gula berlebih.
“Kita perlu dorong gaya hidup sehat. Jika konsumsi bisa ditekan, maka kebutuhan nasional pun bisa lebih realistis dan tidak selalu stagnan di angka 2,8 juta ton,” tambahnya.
Politisi Fraksi PKB ini juga mendorong pemerintah memperketat pengawasan tata niaga gula. Bila ditemukan kebocoran gula rafinasi ke pasar konsumsi, perusahaan terkait harus dicatat dan dikenai sanksi. Data tersebut bisa dijadikan bahan pertimbangan saat mereka mengajukan izin impor berikutnya.
“Selama ini, Kementerian Perdagangan sering disalahkan padahal mereka hanya berperan di bagian hilir. Karena itu, koordinasi antar kementerian harus diperkuat agar persoalan gula tidak terus berulang,” pungkasnya.-***