TERASJABAR.ID – Kota Solo, yang dikenal sebagai surga kuliner di Jawa Tengah, menyimpan sisi lain dalam dunia gastronominya yang kerap menuai kontroversi. Selain ayam widuran kuliner yang viral karena menggunakan lemak babi sebagai bumbu ada pula Sate Jamu, sebuah hidangan ekstrem yang terkenal karena terbuat dari daging anjing.
Meskipun dianggap haram bagi umat Muslim, kuliner ini tetap memiliki penggemar setia di kalangan tertentu, menjadikannya salah satu makanan paling kontroversial di Kota Bengawan.
Sate Jamu, atau sering disebut sengsu (akronim dari tongseng asu), adalah olahan daging anjing yang dihidangkan dalam berbagai bentuk, mulai dari sate, rica-rica, tongseng, hingga digoreng. Nama “Sate Jamu” sendiri berasal dari kepercayaan masyarakat lokal bahwa daging anjing memiliki khasiat seperti jamu, yakni dapat meningkatkan stamina dan vitalitas. Namun, penamaan ini sempat menuai protes karena dianggap menyesatkan.
Banyak wisatawan atau pendatang yang awalnya mengira Sate Jamu adalah sate biasa dengan tambahan rempah obat, tetapi ternyata berbahan dasar daging anjing. Akibatnya, pada 2007, Pemerintah Kota Solo mengeluarkan surat edaran yang melarang penggunaan nama “Sate Jamu” dan mewajibkan pedagang menggunakan istilah “sate guguk” atau “sate anjing” disertai gambar kepala anjing di spanduk warung.
Menurut sejarawan Heri Priyatmoko dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kuliner daging anjing di Solo telah ada sejak era 1940-an, dengan nama pedagang legendaris seperti Mitro Jologug yang dikenal sebagai penjala anjing.
Tradisi ini terus bertahan hingga kini, didukung oleh segmen konsumen tertentu, terutama kalangan abangan dan non-Muslim, serta budaya “mendem” (mabuk-mabukan) yang kerap memadukan daging anjing sebagai teman minum.
Data dari Dog Meat Free Indonesia pada 2019 mencatat ada sekitar 82 warung di Solo yang menyajikan olahan daging anjing, dengan kebutuhan hingga 1.200 ekor anjing per hari untuk memenuhi permintaan.