TERASJABAR.ID – Persoalan sampah di Kota Bandung kembali menjadi sorotan. Anggota DPRD Kota Bandung, Aan Andi Purnama, menilai selama ini pengelolaan sampah di ibu kota Jawa Barat masih berjalan dengan pola lama yang tidak berkelanjutan dan cenderung salah kelola.
Aan menyebut, Pemerintah Kota Bandung hingga kini masih mengandalkan sistem konvensional kumpul–angkut–buang dalam penanganan sampah.
Skema tersebut, menurutnya, bukan hanya menguras anggaran, tetapi juga menciptakan ketergantungan berlebihan terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Selama ini Kota Bandung mengalami miss manajemen dalam pengelolaan sampah. Sistem yang digunakan masih konvensional, sehingga membuat kota ini sangat bergantung pada TPA seperti Pasir Impun, Cicabe, Leuwigajah, hingga Sarimukti yang kini sudah over kapasitas,” ujar Aan, Minggu (21/12/2025).
Kondisi tersebut semakin terasa dampaknya ketika kebijakan pengurangan ritasi pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti diterapkan. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan itu justru memicu penumpukan sampah di berbagai titik kota.
“Begitu ritasi ke Sarimukti dikurangi, langsung terlihat penumpukan sampah di mana-mana. Ini menunjukkan sistem kita belum siap dan tidak punya cadangan solusi,” katanya.
Aan juga menyoroti keterlambatan Pemkot Bandung dalam menerapkan pengolahan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan. Padahal, strategi pemilahan di sumber dan pengolahan di setiap TPS dinilainya sudah menjadi keharusan.
Ia mengungkapkan, kemampuan pengolahan sampah di TPS saat ini hanya sekitar 300 ton per hari, sementara timbulan sampah harian Kota Bandung mencapai sekitar 1.600 ton per hari.
“Ketimpangan ini sangat besar. Selama tidak ada lompatan kebijakan dan teknologi, persoalan sampah akan terus berulang,” tegasnya.
Terkait penggunaan incinerator, Aan menilai teknologi tersebut seharusnya hanya digunakan dalam kondisi darurat, bukan dijadikan solusi utama karena berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
“Incinerator itu sifatnya sementara, hanya untuk kondisi darurat sampah. Jangan dijadikan solusi permanen karena tetap memiliki risiko lingkungan,” ujarnya.
Sebagai jalan keluar, Aan mendorong Pemkot Bandung untuk segera membangun sistem pengolahan sampah skala kota dengan teknologi ramah lingkungan, seperti Refuse Derived Fuel (RDF) dan biodigester. Menurutnya, pengangkutan sampah ke TPA seharusnya hanya dilakukan untuk residu akhir hasil pengolahan.
Selain itu, ia meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung membangun Stasiun Peralihan Antara (SPA) sebagai infrastruktur penting untuk mengelola residu sampah dari seluruh TPS sebelum dibawa ke TPA.
Tak kalah penting, Aan menekankan pelibatan masyarakat sejak tahap awal pengolahan. “Pemilahan sampah di sumber harus dilakukan secara rutin dan masif di semua wilayah. Tanpa keterlibatan masyarakat, sistem sebaik apa pun tidak akan berjalan optimal,” pungkasnya.
Dengan perubahan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan, Aan berharap persoalan sampah di Kota Bandung tidak lagi menjadi krisis yang berulang, melainkan dapat dikelola sebagai bagian dari solusi lingkungan jangka panjang.

















