Padahal, sadar mati justru menumbuhkan syukur. Kita jadi lebih menikmati sarapan sederhana, lebih menghargai tawa anak, lebih menghormati orang tua, lebih lembut pada pasangan. Karena kita tahu — semua ini bukan milik kita, hanya titipan sementara.
Seorang kawan pernah berkata setelah kehilangan ayahnya,
“Aku baru benar-benar hidup setelah menyadari bahwa hidup bisa berakhir kapan saja.”
Kalimat itu sederhana, tapi dalam. Sebab, hanya dengan menyadari akhir, kita bisa menata awal dengan sungguh-sungguh.
Sadar mati bukan berarti menunggu mati, tapi menyiapkan diri untuk hidup yang tak akan mati lagi.
Orang yang sadar mati justru lebih bersemangat bekerja, lebih fokus berbuat baik, lebih ringan memberi, karena tahu bahwa tidak ada yang sia-sia di mata Allah.
Kematian hanyalah pintu, bukan tembok. Ia bukan perpisahan, tapi kepulangan.
Dan orang yang sadar mati tidak pernah takut pergi — karena ia telah menyiapkan hati untuk pulang dengan damai.
Maka mungkin yang kita perlukan bukan keberanian menghadapi mati, tapi kelembutan dalam mengingatnya. Agar setiap pagi terasa berharga, setiap langkah jadi ibadah, dan setiap napas jadi ucapan terima kasih kepada Sang Pemberi Hidup.
Hidup ini tidak panjang, tapi bisa dibuat bermakna.
Dan kematian bukan akhir cerita — ia hanya jeda antara dua keabadian: dunia yang fana dan akhirat yang kekal.
Subchan Daragana