Dan perlahan, ia mengerti bahwa setiap cinta yang tulus akan menemukan jalannya kembali kepada Allah. Bahwa qawammah, pada akhirnya, bukan hanya tentang kepemimpinan, tapi tentang perjalanan ruhani seorang hamba yang sedang mendidik dirinya sendiri untuk ikhlas.
Ayah yang qawwam akan dikenang bukan karena kekuatannya, tapi karena kelembutannya.
Bukan karena banyaknya kata yang ia ucapkan, tapi karena doa-doa yang ia panjatkan diam-diam. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia terus belajar bahkan di usia senja.
Dan ketika suatu hari ia menatap keluarganya dari kejauhan, melihat mereka tumbuh, tertawa, dan melanjutkan hidup, mungkin air matanya jatuh. Tapi kali ini bukan karena lelah, melainkan karena syukur: Allah telah mengizinkannya menjadi penjaga cinta, walau sebentar.
Maka ketika ayah pulang kepada makna, ia tak membawa apa-apa kecuali doa. Ia pulang dalam ketenangan, membawa harapan sederhana:
bahwa rumah yang ia bangun dengan cinta akan menjadi taman kecil menuju surga.
Ia tahu, qawammah bukanlah mahkota di kepala, tapi cahaya di dada. Ia tahu, cinta bukanlah kekuasaan, tapi pengorbanan yang berulang. Dan ia tahu, bahwa segala kepemimpinan sejati bermuara pada satu kalimat yang sama —
“La ilaha illallah.”
Sebab ayah sejati tidak pernah benar-benar berhenti memimpin, bahkan setelah tak lagi hadir di dunia. Doanya tetap menjaga, teladannya tetap hidup, dan cintanya tetap menuntun langkah-langkah kecil menuju Allah.
Dan mungkin, di situlah arti pulang yang sesungguhnya bukan ke rumah yang dibangun dengan tangan, tapi ke makna yang dibangun dengan cinta dan ketundukan.***


















