Di tempat yang sama, Nana Sudiana, S.I.P. selaku Direktur Akademizi mengatakan, data penerima zakat harus berasal dari kecamatan dan perangkat daerah di masing-masing wilayah. Agar tidak double mendapatkan zakat dari berbagai lembaga, maka harus ada koordinasi dengan kecamatan dan desa atau lurah.
“Harus ada fungsi koordinasi dengan kecamatan agar nyambung, agar penerima zakat tidak itu-itu saja agar tidak tumpang tindih dan efektif,” jelasnya.
Nana mengatakan, penduduk Jawa Barat saat ini sekitar 49,9 juta jiwa, mayoritas beragama Islam. Jumlah penduduk Muslim mencapai 48,58 juta jiwa, atau sekitar 97,4%.
Menurut Nana, potensi Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) di Jawa Barat mencapai Rp32 triliun. Namun, realisasinya baru sekitar Rp6 triliun hingga 2024 .
Berdasarkan data BAZNAS Jawa Barat, terdapat sekitar 10 ribu muzakki (pembayar zakat) dengan total penghimpunan ZIS sebesar Rp80,1 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp69,1 miliar telah disalurkan kepada 95,8 ribu mustahik (penerima zakat).
Sementara Dewan Pakar Salman ITB, Budiana Kartawijaya, mengatakan, data masyarakat miskin atau orang yang berhak mendapatkan zakat berasal dari BPS atau DTSEN.
Bagi penyalur zakat yang ingin mengetahui betul masyarakat miskin harus langsung ke lapangan bertemu dengan tokoh masyarakat atau juga tinggal beberapa hari agar kondisi rilnya diketahui.
“Kalau enggak sanggup terjun langsung, dekati tokoh-tokoh masyarakat, dia yang lebih tahu. Seperti tokoh agama atau kyai di lingkungan itu, dia tahu siapa saja yang suka ke masjid, kondisinya bagaimana,” tuturnya.***