Pada tahun 1766 di Swedia, Kebebasan Pers pertama kali diakui oleh satu negara melalui UU yang dikenal sebagai UU Kebebasan Pers (1766). Pada tahun 1791, di Amerika Serikat, melalui Amandemen Pertama Konstitusi AS, Kebebasan Pers dijamin dalam Konstitusi satu negara, yang diratifikasi oleh seluruh 50 negara bagian pada tahun 1791. Baru-baru ini, mulai abad ke-18, Trias Politica telah berkembang menjadi Tetras Politica, atau lebih dikenal sebagai Empat Pilar Demokrasi, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Kebebasan Pers.
Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan demokrasi modern, status jurnalis, reporter, penyiar, YouTuber, podcaster, blogger, TikToker, dll., ditempatkan pekerjaan mereka setara dengan Presiden, anggota Parlemen, dan hakim pengadilan. Jurnalis memiliki hak imunitas dari kriminalisasi dan penuntutan atas semua hasil jurnalistik mereka. Prinsip “Kebebasan Pers” dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 dan bahkan hukum internasional. Secara lebih detail inti Artikel ini sudah saya tulis dalam Buku “Jokowi’s White Paper” yang sudah didistribusikan luas dan bisa dimiliki melalui berbagai reseller yang tersedia.
Secara internasional, Kebebasan Pers dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional, termasuk Pasal 19 Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (1948), dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia untuk tidak menghormati Kebebasan Pers yang dijalankan oleh jurnalis di negara ini. Kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, hak untuk mengajukan petisi kepada pemerintah, dan hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi adalah kegiatan yang dilindungi secara konstitusional yang tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut.
Ini berarti bahwa kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, hak untuk mengajukan petisi kepada pemerintah, dan hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi adalah kegiatan yang dilindungi secara konstitusional yang tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut. Jelas, kegiatan yang secara hukum dilindungi dan dijamin oleh UUD 1945, dan bahkan oleh hukum internasional, tidak dapat dikriminalisasi atau dituntut di pengadilan.
Secara rinci, Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Oleh karena itu, pengambilan foto, video, atau perekaman dapat dianggap sebagai bagian dari penyampaian pendapat, terutama untuk: jurnalisme, dokumentasi demonstrasi damai, pelaporan publik, dan pengawasan sosial (jurnalisme warga). Sementara itu, Pasal 28F UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala cara yang tersedia.” Artinya, pengambilan gambar, perekaman video, atau perekaman video dapat dianggap sebagai cara untuk mencari dan mengolah informasi serta menyampaikan informasi kepada publik.