TERASJABAR.ID – Film The Ugly Stepsister (2025) menghadirkan reinterpretasi kelam dari dongeng klasik Cinderella, dengan sudut pandang yang tak biasa: kakak tiri yang selama ini dikenal sebagai antagonis.
Disutradarai oleh Emilie Blichfeldt dalam debut penyutradaraannya, film asal Norwegia ini mengusung genre horor komedi bercampur body horror, sekaligus menyampaikan kritik tajam terhadap obsesi kecantikan dan standar masyarakat yang tidak manusiawi. Film berdurasi 1 jam 50 menit ini telah tayang di bioskop Indonesia sejak 28 Mei 2025, dan menjadi perbincangan hangat karena pendekatannya yang berani.
Sinopsis The Ugly Stepsister
Berlatar di kerajaan abad ke-19 yang memuja kecantikan fisik sebagai tolok ukur utama, film ini mengikuti kisah Elvira (Lea Myren), salah satu kakak tiri Cinderella. Elvira hidup dalam bayang-bayang saudara tirinya, Agnes (Thea Sofie Loch Næss), yang memiliki kecantikan alami dan selalu tampil memukau tanpa usaha. Berbeda dengan Agnes, Elvira digambarkan canggung, dengan gigi bertanggam dan penampilan yang dianggap kurang menarik oleh masyarakat sekitar.
Elvira dibesarkan oleh ibu tirinya yang ambisius dan serakah, Rebekka (Ane Dahl Torp), yang memiliki obsesi untuk meningkatkan status sosial keluarga. Ketika kerajaan mengumumkan pesta dansa untuk mencari calon istri bagi Pangeran Julian (Isac Calmroth), Rebekka melihat peluang emas. Ia memaksa Elvira untuk memikat sang pangeran, meski itu berarti mengorbankan tubuh dan jiwanya demi memenuhi standar kecantikan yang kejam.
Untuk bersaing dengan Agnes, Elvira menempuh cara-cara ekstrem yang mengerikan. Ia menjalani serangkaian prosedur kecantikan primitif yang menyakitkan: operasi plastik yang brutal, memakan cacing pita untuk menurunkan berat badan, hingga menjahit bulu mata palsu ke kelopak matanya. Bahkan, terinspirasi dari versi Brothers Grimm, Elvira nekat memotong jari kakinya agar sepatu kaca pas di kakinya—sebuah simbol tragis dari pengorbanan demi validasi sosial. Setiap langkah yang diambil Elvira bukan hanya menyiksa fisiknya, tetapi juga menghancurkan mentalnya, menggambarkan betapa dalamnya tekanan untuk menjadi “sempurna”.