Indonesia membutuhkan kebijakan digital yang lebih berani dan progresif. Bukan untuk membatasi kreativitas warganya, tetapi untuk memastikan ruang digital menjadi ekosistem yang sehat.
Setidaknya ada empat langkah penting.
Pertama, pengawasan algoritma. Platform harus diminta transparansi, terutama terkait konten berbahaya, distribusi politik, dan rekomendasi untuk anak. Indonesia perlu meniru Australia yang memaksa platform bertanggung jawab atas keselamatan digital pengguna.
Kedua, pendidikan dan literasi digital kritis. Bukan sekadar cara menggunakan gawai, tetapi bagaimana memahami bahwa algoritma membentuk kesadaran. Masyarakat perlu belajar menyeleksi, bukan hanya mengonsumsi.
Ketiga, penegakan perlindungan data pribadi. Tanpa pengawasan kuat, data warga dapat dijadikan komoditas politik maupun ekonomi.
Keempat, penguatan ruang offline. Negara dan masyarakat harus menjaga agar interaksi keluarga, komunitas, dan pendidikan tatap muka tetap menjadi pilar utama kehidupan sosial.
Ruang digital yang sehat tidak lahir dari sensor, tetapi dari regulasi yang berpihak pada publik, edukasi yang konsisten, dan nilai-nilai budaya serta agama yang tetap hidup. Indonesia menuju 2045 membutuhkan masyarakat yang cerdas digital, bukan sekadar pengguna pasif yang mengikuti arus algoritma.
Kita tidak mungkin berhenti menggunakan teknologi, tetapi kita bisa memilih bagaimana mengelolanya. Republik Algoritma bukanlah takdir. Dengan kebijakan tepat, ruang digital dapat menjadi bagian dari peradaban, bukan ancaman bagi kemanusiaan. Pada akhirnya, urusan negara bukan sekadar membangun jalan atau jembatan, tetapi menjaga ruang kesadaran warganya.
Karena masa depan bangsa ditentukan bukan hanya oleh apa yang kita lihat di layar, tetapi oleh kemampuan kita mengendalikan apa yang memengaruhi layar itu.***

















