Di titik inilah negara harus hadir, bukan sebagai pemungut pajak digital semata, tetapi sebagai penjaga keselamatan publik. Media sosial kini bukan hanya platform hiburan ia adalah infrastruktur sosial. Sama seperti jalan raya yang membutuhkan rambu, atau industri makanan yang perlu standar keamanan, ruang digital pun perlu aturan yang melindungi rakyat.
Salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah lemahnya algorithmic governance. Kita tidak tahu apa logika rekomendasi TikTok, bagaimana Facebook menyebarkan informasi politik, atau mengapa Instagram begitu kuat memicu kecemasan sosial di kalangan remaja. Pemerintah juga belum memiliki laboratorium kebijakan digital seperti di Singapura atau Australia yang secara rutin mengaudit algoritma dan dampaknya terhadap publik.
Padahal, implikasi sosialnya sangat nyata. Polarisasi politik yang memuncak pada Pemilu 2019 dan 2024 bukan semata akibat perbedaan pilihan, tetapi hasil amplifikasi algoritma yang memprioritaskan konten ekstrem. Adiksi digital mulai dari doomscrolling hingga budaya validasi menjadi penyebab meningkatnya kecemasan dan kelelahan mental. Di banyak keluarga, komunikasi tatap muka menurun karena ruang emosional tersita untuk layar.
Dalam ekonomi, fitur pay later dan penawaran algoritmik telah mendorong konsumsi impulsif. Banyak masyarakat terjebak dalam banjir utang digital. UMKM memang diuntungkan oleh marketplace, tetapi mereka tunduk pada logika algoritma yang dapat berubah kapan saja, menciptakan ketidakpastian baru.

















