24 September: Jangan Jadi Mu-Provokasi
Rencana ulang MUPROV harusnya jadi kesempatan perbaikan. Tapi yang terdengar masih sama: aroma rekayasa, tekanan sana-sini, dan calon sah disuruh mundur.
Musyawarah kok rasanya kayak audisi Indonesian Idol: ada juri yang bisik-bisik, “Kamu bagus sih, tapi tolong mundur aja ya, kasih kesempatan calon spesial.”
Padahal, musyawarah itu bukan ajang boyband. Kalau terus-terusan begini, yang lahir bukan Ketua Kadin, tapi “Ketua Kaditu”—alias yang dipaksakan hadir entah dari mana.
Sudah Terlalu Lama Menguras Energi
Mari jujur: keributan ini sudah terlalu lama. Energi habis, pikiran kusut, uang keluar tanpa hasil. Dunia usaha yang harusnya fokus cari peluang, malah sibuk cari lawan.
Bayangkan, pengusaha yang mestinya mikirin ekspor, malah ekspor emosi. Yang mestinya bikin kontrak dagang, malah bikin kontrak ribut. Harusnya ngurus tender, malah sibuk ngurus gender—siapa yang lebih jantan ributnya.
Coba bayangkan kalau tenaga, pikiran, dan uang yang habis buat ribut ini dipakai untuk buka pabrik, berapa banyak tenaga kerja terserap? Kalau dipakai buat tanam kopi, berapa banyak cangkir bisa kita nikmati? Kalau dipakai buat riset, mungkin kita sudah punya “Aqua Rasa Cuan” sekarang.
Kadin Indonesia: Rumah Besar yang Harus Dijaga
Nah, di tengah semua keributan ini, kita jangan lupa: kita punya rumah besar bernama Kadin Indonesia. Ketua Umum Kadin Indonesia itu bukan wasit tinju yang sibuk pisahin orang ribut, tapi bapak yang harus kita hormati.
Malah, kalau kita bikin gaduh terus, beliau bukan sibuk mikirin dunia usaha nasional, tapi pusing ngurus anak-anak Jawa Barat yang cerewet. Bayangkan, rumah lagi mau direnovasi, anak-anak malah ribut rebutan remote TV.