(Kelelahan Moral di Ruang Publik Kita)
Oleh : Subchan Daragana / Magister Kominikasi Universitas Bakrie
Jika ruang publik terus dipenuhi hal remeh, jangan heran bila bangsa ini kehabisan tenaga untuk memikirkan hal yang penting.
Dalam beberapa hari terakhir, ruang publik kita kembali dipenuhi hiruk pikuk isu personal figur publik, gosip, dugaan relasi asmara, skandal, dan intrik. Percakapan mengalir deras di media sosial, kolom komentar penuh emosi, sementara di saat yang sama banjir bandang, kerusakan lingkungan, dan problem struktural bangsa perlahan tenggelam dari perhatian. Seolah tragedi demi tragedi tak lagi cukup “menarik” untuk dibicarakan.
Fenomena ini bukan sekadar soal selera konten. Ia mencerminkan apa yang dalam kajian sosial disebut “moral fatigue” kelelahan moral kolektif. Masyarakat menjadi letih untuk peduli pada isu serius, letih untuk marah pada ketidakadilan struktural, dan akhirnya memilih hiburan ringan yang tak menuntut empati mendalam. Bukan karena masyarakat sepenuhnya salah, tetapi karena perhatian publik terus-menerus diarahkan ke hal yang remeh namun sensasional.
Dalam teori agenda setting, media tidak selalu mengatakan kepada publik apa yang harus dipikirkan, tetapi sangat efektif menentukan apa yang layak dipikirkan. Ketika layar kita dipenuhi skandal personal, konflik dangkal, dan sensasi emosional, maka di situlah energi kognitif publik dihabiskan. Akibatnya, isu besar kerusakan hutan, kemiskinan, bencana, tata kelola negara menjadi latar belakang yang sunyi.
Di titik ini, kita menyaksikan distraksi kolektif di ruang publik. Bukan kebodohan massal, melainkan pengalihan perhatian yang sistemik. Konten ringan lebih cepat viral, lebih mudah dikomentari, dan lebih menguntungkan secara algoritmik. Sementara isu berat membutuhkan kesabaran berpikir, empati, dan keberanian , moral, sesuatu yang justru sedang melemah.
Kelelahan moral juga tampak dari normalisasi berbagai penyimpangan. Korupsi, kekerasan, perselingkuhan, bahkan kematian, sering kali hanya menjadi “berita lalu”. Ada simpati sesaat, lalu lenyap ditelan konten berikutnya. Dalam sosiologi media, ini dikenal sebagai “compassion fatigue “, kejenuhan empati akibat paparan berulang terhadap tragedi tanpa ruang refleksi yang memadai.
Dari perspektif agama, situasi ini patut menjadi bahan muhasabah. Al-Qur’an mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41). Kerusakan itu bukan hanya ekologis, tetapi juga moral dan kesadaran. Ketika nurani dibiarkan lelah, maka yang tersisa hanyalah reaksi sesaat tanpa arah nilai.
Rasulullah ﷺ pun mengingatkan tentang akhir zaman, ketika kebenaran terasa berat dan kebatilan tampak biasa. Dalam konteks hari ini, bukan berarti masyarakat kehilangan iman, tetapi iman itu kelelahan karena jarang diberi ruang untuk tumbuh. Rumah, sekolah, media, dan ruang publik tak lagi cukup menjadi madrasah nilai.
Pertanyaannya, apakah ini skenario besar atau sekadar kelalaian kolektif?, Jawabannya bisa keduanya. Ada logika ekonomi media, ada algoritma global, tetapi juga ada tanggung jawab personal dan sosial. Pemerintah, media, tokoh publik, dan masyarakat sipil memikul peran yang sama pentingnya, yaitu mengembalikan orientasi ruang publik pada hal yang bermakna.


















