TERASJABAR.ID – Lereng Gunung Ciremai merupakan kawasan ekologis strategis bagi wilayah Kab. Kuningan dan sekitarnya. Kawasan ini berfungsi sebagai daerah tangkapan air utama, penyangga kehidupan pertanian, serta sumber mata air bagi permukiman di dataran bawah.
Berdasarkan update data selama satu dekade terakhir, kawasan seperti Palutungan, Pajambon, Sukamukti, dan Cisantana mengalami pertumbuhan pesat sebagai destinasi wisata alam. Namun, perkembangan tersebut berjalan dengan visi masing-masing, sering tanpa kerangka mitigasi hidrologi yang terpadu.
Hal itu disampaikan Yusup Oeblet pemilik Padepokan Bumi Seni Tarikolot (BST) di Desa Sukamukti, Kec. Jalaksana, Kab. Kuningan, terkait keberadaan kawasan wisata di lereng Gunung Ciremai, Selasa (23/12/2025)
“Secara geomorfologi, lereng Ciremai memiliki kemiringan curam, tanah vulkanik yang relatif labil, serta jaringan aliran air permukaan yang sensitif terhadap perubahan tutupan lahan. Dalam kondisi alami, hutan dan vegetasi lereng berperan penting menahan limpasan air hujan, memperlambat aliran permukaan, dan menjaga kestabilan tanah. Ketika kawasan ini berkembang menjadi zona wisata—dengan pembangunan jalan, parkiran, vila, cafe, dan wahana—fungsi alami tersebut perlahan tereduksi,” jelasnya.
Oeblet menyebutkan, di kawasan Palutungan dan Cisantana, alih fungsi lahan dan peningkatan bangunan permanen di daerah hulu berimplikasi langsung pada perubahan pola aliran air. Air hujan yang semestinya meresap ke dalam tanah kini lebih cepat mengalir di permukaan, meningkatkan risiko banjir lokal, erosi saluran, dan sedimentasi di wilayah hilir. Pajambon dan Sukamukti, yang berada dalam jalur aliran air yang sama, turut menerima dampak akumulatif dari perubahan tersebut, papar dia.
Mitigasi hidrologi di kawasan wisata lereng gunung seharusnya menjadi fondasi utama penataan wilayah. Pertama, diperlukan penetapan zonasi berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Zona hulu dan daerah resapan air harus dibatasi secara ketat dari pembangunan intensif. Aktivitas wisata di zona ini perlu diarahkan pada konsep ekowisata rendah dampak, dengan struktur non-permanen dan minim perubahan kontur tanah.
“Kedua, setiap pembangunan kawasan wisata wajib mengintegrasikan sistem pengelolaan air hujan. Pembuatan drainase alami, sumur resapan, kolam retensi, dan terasering yang sesuai kontur lereng menjadi keharusan, bukan pilihan. Tanpa pendekatan ini, air akan terus menjadi ancaman, bukan sumber kehidupan,” tuturnya.
Ketiga, penataan kawasan harus melampaui batas administratif desa. Sistem hidrologi tidak mengenal batas wilayah pemerintahan. Oleh karena itu, perencanaan Palutungan, Pajambon, Sukamukti, dan Cisantana perlu disatukan dalam satu kerangka pengelolaan kawasan lereng Ciremai yang terpadu. Koordinasi lintas desa dan lintas sektor menjadi kunci untuk mencegah kebijakan yang saling bertabrakan.
Kasus-kasus genangan, longsor kecil, rusaknya saluran air, hingga berkurangnya debit mata air yang mulai dirasakan masyarakat setempat seharusnya dibaca sebagai sinyal peringatan dini. “Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan keberlanjutan hidup dan keselamatan bersama. Kawasan wisata yang tumbuh tanpa kendali hidrologi berpotensi mewariskan risiko bencana bagi generasi berikutnya,” tegas Oeblet.
Penataan kawasan wisata lereng Gunung Ciremai, lanjutnya, harus berpijak pada pemahaman alam, bukan sekadar pada logika pasar wisata. Pembangunan yang bijak adalah pembangunan yang mampu membaca arah air, memahami karakter tanah, dan menghormati peran gunung sebagai penyangga kehidupan. Dengan demikian, Palutungan, Pajambon, Sukamukti, dan Cisantana dapat berkembang sebagai kawasan wisata yang aman, lestari, dan berkeadilan ekologis.*
















