Drama pun dimulai.
Manipulasi politik yang luar biasa: bagaimana caranya tetap memakai JIS, tetapi di saat yang sama, merusak nama Anies Baswedan.
Perdebatan di publik memanas.
Lalu Erick Thohir menggelar konferensi pers sambil menunjukkan surat yang diklaim berasal dari FIFA—seolah-olah FIFA meminta rumput JIS diganti.
Dia Memenggal surat FIFA dia tak membaca utuh dari paragraf pertama. Dia bermaksud jahat dengan memanipulasi dihadapan wartawan.
Padahal, surat FIFA itu hanyalah jawaban atas surat PSSI sendiri, bukan instruksi resmi.
Bunyi paragraf pertama surat FIFA itu sangat jelas:
“In view of the proposed change from the Jakarta GBK Stadium to Jakarta International Stadium and based on the facts provided with the report of PSSI’s domestic pitch experts, please find the FIFA pitch management assessment as follows.”
Terjemahannya:
“Sehubungan dengan usulan perubahan dari Stadion GBK Jakarta ke Stadion Internasional Jakarta, dan berdasarkan fakta-fakta yang disampaikan melalui laporan para ahli lapangan domestik PSSI, berikut adalah penilaian manajemen lapangan dari FIFA.”
Artinya tegas:
FIFA tidak memerintahkan pergantian rumput.
Mereka hanya menilai laporan yang dikirim PSSI sendiri.
Namun di tangan Erick Thohir, surat itu diubah menjadi alat manipulasi publik.
Penilaian teknis disulap menjadi narasi politik.
Rumput JIS akhirnya diganti—dan ironisnya, stadion justru tergenang air.
Citra yang ingin diperbaiki malah rusak karena kepalsuan yang diciptakan sendiri.
Erick Thohir menjadikan sepak bola sebagai alat politik, sementara di balik semua langkah itu, tampak jelas bayang kekuasaan Jokowi.
Dialah dalang yang membiarkan kejahatan politik terhadap Anies Baswedan berjalan halus tapi nyata.
Dan Erick Thohir, sang manipulator publik, memainkan peran dengan penuh kelicikan demi satu tujuan: ambisi kekuasaan. ***

















