TERASJABAR.ID – Film Dilan memang lahir dari Bandung, kota yang dikenal romantis dan penuh nostalgia. Tapi di balik keindahan suasana tahun 90-an yang ditampilkan, banyak penonton justru merasa kisah cinta Dilan dan Milea lebih menyakitkan daripada film horor. Bukan karena seram, tapi karena terlalu nyata. Cinta yang besar, tapi tak sampai.
Dalam Dilan 1990 hingga Milea: Suara dari Dilan, kita diajak menyusuri jalanan Bandung, melihat dua anak muda jatuh cinta dengan polosnya. Tapi seiring waktu, Bandung yang tadinya penuh tawa berubah jadi saksi luka.
Dilan, si panglima tempur yang romantis, akhirnya memilih Ancika. Milea pun memilih jalannya sendiri. Dan penonton? Tertinggal di antara kenangan dan harapan yang patah.
Bukan berarti cinta mereka dulu palsu, tapi karena kehidupan memang terus berjalan. Kadang, orang datang bukan untuk tinggal selamanya tapi untuk mengajarkan sesuatu.
Kita belajar menerima, berdamai, dan tidak mengutuk takdir. Bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang bagaimana masing-masing memilih jalan hidup yang terbaik, meski tidak lagi beriringan.
Banyak yang bilang kisah Dilan dan Milea ini lebih horor karena menggambarkan kenyataan yang pahit: tidak semua cinta berujung bersama.
Bahkan meski di kota seindah Bandung, tempat kenangan mereka terukir, nyatanya waktu tak bisa diputar ulang. Semua berjalan sesuai takdir, meski hati menolak.
Dari film Dilan, kita belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kita belajar melepaskan orang yang kita sayang demi kebahagiaan mereka sendiri.
Bandung tak hanya jadi latar cerita, tapi juga simbol kenangan yang abadi. Tempat cinta itu lahir, tumbuh lalu hilang dengan indah.***