Pemilihan dilakukan dengan voting rahasia, hingga salah satu kandidat memperoleh dua pertiga suara. Diskusi di antara kardinal sering kali intens, mencerminkan tantangan global Gereja, seperti sekularisme, skandal internal, atau isu keadilan sosial. Namun, di balik semua itu, mereka percaya Roh Kudus membimbing keputusan mereka.
Setiap hari, hingga empat putaran voting dilakukan. Jika setelah beberapa hari belum ada hasil, mereka berhenti sejenak untuk berdoa dan berdiskusi lebih mendalam. Proses ini bisa berlangsung berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, meski konklaf modern cenderung lebih cepat berkat persiapan yang matang.
Misteri dan Makna
Konklaf bukan sekadar pemilihan politik; ini adalah ritual spiritual yang sarat simbolisme. Kapel Sistina, dengan lukisan dinding karya Michelangelo tentang Penciptaan dan Penghakiman Terakhir, menjadi pengingat akan tanggung jawab ilahi para kardinal. Mereka tidak hanya memilih seorang pemimpin, tetapi juga menentukan arah Gereja di tengah dunia yang terus berubah.
Kerahasiaan konklaf memicu rasa kagum sekaligus spekulasi. Dunia luar hanya bisa menunggu asap putih dan pengumuman “Habemus Papam” (Kami punya Paus) dari balkon Basilika Santo Petrus. Siapa yang terpilih? Apa visinya untuk Gereja? Semua pertanyaan ini hanya terjawab setelah pintu Kapel Sistina kembali terbuka.
Warisan yang Abadi
Konklaf adalah perpaduan unik antara tradisi kuno dan relevansi modern. Di era teknologi dan transparansi, ritual ini tetap menjadi salah satu rahasia terbesar dunia, menunjukkan bahwa ada hal-hal yang masih disucikan di balik tembok Vatikan. Bagi umat Katolik, konklaf adalah momen harapan, ketika dunia menahan napas untuk menyambut pemimpin baru yang akan membawa terang bagi Gereja dan umat manusia.
Saat asap putih akhirnya membumbung, dunia tahu bahwa seorang paus baru telah lahir—dipilih dalam keheningan, doa, dan misteri yang hanya bisa dibayangkan.