Namun kepo tidak harus menjadi kutukan. Dalam diri manusia, rasa ingin tahu adalah energi alami — tinggal diarahkan ke mana. Jika diarahkan pada hikmah, ia melahirkan ilmu. Tapi jika diarahkan pada ego, ia melahirkan iri dan prasangka. Islam tidak melarang rasa ingin tahu, hanya mengingatkan: jangan biarkan rasa tahu kehilangan adab. Bedanya tipis: kepo bisa menjadi tafaqquh (mendalami), atau menjadi tajassus (mengintai). Semua tergantung niatnya.
Maka di tengah hiruk pikuk digital ini, tugas kita bukan memusuhi teknologi, tapi menjinakkannya dengan kesadaran. Seperti halnya puasa menahan lapar, kita pun perlu puasa digital — menahan diri dari godaan scroll tanpa makna. Karena tidak semua yang bisa kita lihat, perlu kita tahu. Tidak semua yang bisa kita tahu, perlu kita komentari.
Rasa ingin tahu tetap perlu, tapi arahkan pada hal yang mendidik: kepo pada kebenaran, bukan pada aib. Kepo pada ilmu, bukan pada gosip. Kepo pada jalan hidup yang diridai Allah, bukan pada kehidupan orang lain. Karena sejatinya, pengetahuan sejati bukan tentang seberapa banyak kita tahu, tapi seberapa dalam kita memahami.
Di zaman di mana semua orang ingin tahu, beruntunglah mereka yang masih mampu menjaga rahasia. Sebab di situlah kemuliaan manusia disembunyikan. Dunia mungkin tak bisa lepas dari algoritma, tapi manusia bisa memilih untuk tetap punya nurani.
Kepo bukan sekadar penyakit zaman — ia adalah cermin dari algoritma yang berhasil menundukkan hati manusia. Dan satu-satunya perlawanan yang tersisa adalah kesadaran: ketika kita memilih menatap ke dalam diri, bukan ke layar.***