Dari sisi spiritual, kepo adalah tanda hati yang belum tenang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi).
Kalimat ini seharusnya menjadi filter bagi setiap jempol yang bergerak di layar. Tapi di zaman digital, menahan diri adalah laku yang paling sulit. Kita ingin tahu semuanya, ikut dalam semua perbincangan, dan menilai semua orang. Padahal hati yang tenteram bukan hati yang banyak tahu, tapi hati yang tahu kapan harus diam.
Dalam bahasa agama, kepoan adalah bentuk kecil dari tajassus — mencari-cari urusan orang lain. Al-Qur’an telah mengingatkan:
“Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12).
Larangan ini bukan hanya moral pribadi, tapi panduan sosial. Karena masyarakat yang sibuk mengintai akan kehilangan rasa percaya. Kita hidup di masa di mana ghibah disebut update, tajassus disebut trending topic, dan riya dilabeli personal branding. Semua dibungkus dengan algoritma yang menghitung klik, bukan niat.
Algoritma bekerja seperti setan halus: ia tahu apa yang kita suka, lalu memberikannya terus tanpa henti. Ia memperkuat sisi paling lemah dalam diri manusia — rasa penasaran, iri, dan haus perhatian. Makin sering kita klik gosip, makin banyak gosip yang muncul di beranda.
Makin sering kita lihat drama, makin banyak drama ditawarkan. Itulah kapitalisme pengawasan — surveillance capitalism — yang dijelaskan Shoshana Zuboff (2019): sistem yang menjual perhatian manusia dengan cara menanamkan kebiasaan. Kepo bukan lagi sifat, tapi produk industri.
Dan tanpa sadar, kita semua sedang diternakkan oleh algoritma — bukan untuk berpikir, tapi untuk bereaksi. Ia tidak peduli kebenaran, ia hanya peduli keterlibatan (engagement). Semakin emosional respon kita, semakin sukses ia bekerja. Maka jangan heran, dunia digital kini dipenuhi marah, iri, dan debat tanpa makna. Kita pikir sedang berpendapat, padahal sedang dimanipulasi. Kita pikir bebas bersuara, padahal sedang dipelihara untuk tetap gaduh.
Secara sosial, budaya kepoan ini menciptakan krisis ukhuwah. Kita tahu segalanya tentang orang lain, tapi tak benar-benar mengenalnya. Kita menilai tanpa menyapa, mengomentari tanpa memahami. Hubungan sosial kehilangan kedalaman, berganti dengan koneksi semu. Manusia bukan lagi makhluk sosial, tapi makhluk digital yang kesepian bersama-sama.
Dalam pandangan spiritual, ini adalah ujian adab. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan: “Orang yang sibuk mencari aib orang lain akan lupa membersihkan hatinya sendiri.”
Dan benar, di dunia maya hari ini, banyak yang sibuk memperbaiki citra, tapi lupa memperbaiki jiwa. Kita menata feed Instagram, tapi membiarkan hati berantakan. Kita membersihkan foto, tapi bukan dosa.