TERASJABAR.ID – Tahun 2025 kembali menorehkan ironi dalam catatan penegakan hukum nasional.
Prinsip konstitusional bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum kembali dipertanyakan.
Namun, putusan pengadilan terhadap Silfester Matutina hingga kini tak jelas eksekusinya.
Ketua Umum Solidaritas Merah Putih itu sejatinya telah berstatus terpidana sejak 2019 atas perkara fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.
Vonis pidana penjara selama satu setengah tahun telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, hingga bertahun-tahun berlalu, hukuman tersebut tak pernah dijalankan.
BACA JUGA: Kaleidoskop 2025: Tahun Kelam Penegakan Hukum di Indonesia
Alasan pandemi Covid-19 sempat menjadi dalih, tetapi ketika pandemi berakhir, perkara itu justru menguap tanpa kejelasan.
Pergantian pemerintahan sempat menumbuhkan harapan akan penuntasan eksekusi.
Namun kenyataannya, proses itu kembali jalan di tempat.
Publik disuguhi saling lempar pernyataan antara pihak kejaksaan dan penasihat hukum terpidana, yang justru memperlihatkan kebuntuan eksekusi terhadap seseorang yang keberadaannya diketahui dan tidak pernah melarikan diri.
Ironi kian menebal ketika Silfester tetap tampil di ruang publik, menyatakan kesiapan menghadapi proses hukum, bahkan memperoleh jabatan komisaris independen di sebuah BUMN.
Fakta ini memperkuat kesan bahwa hukum dapat dilunakkan oleh status dan kedekatan kekuasaan.
Kisah ini menjadi noda serius dalam kaleidoskop hukum 2025.
Penundaan eksekusi bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ancaman terhadap kepercayaan publik.
Selama hukum tampak ragu menegakkan putusannya sendiri, keadilan akan terus dipersepsikan rapuh, seperti bangunan megah yang runtuh hanya oleh satu hembusan angin.-***











