TERASJABAR.ID – Tahun 2025 menjadi momen ujian bagi pemimpin di tengah bencana. Musibah yang melanda Sumatra tak sekadar memperlihatkan kehancuran lingkungan akibat eksploitasi puluhan tahun.
Lebih dari itu, musibah ini menjadi cermin karakter pemimpin di tengah krisis.
Di satu sisi, terlihat pemimpin yang tulus bekerja, rela berjuang bersama rakyat menghadapi dingin dan lapar.
Di sisi lain, muncul wajah pemimpin yang pengecut, egois, dan lemah, yang memilih menghindar dari tanggung jawab atau cepat menyelamatkan diri sendiri.
Kasus Bupati Aceh Selatan 2025-2030, Mirwan MS, menjadi sorotan publik.
Saat rakyatnya kehilangan harta, rumah, bahkan sanak keluarga, ia justru melakukan perjalanan umrah bersama keluarga tanpa izin Menteri Dalam Negeri.
Berangkat umrah memang ibadah suci, namun saat bencana melanda, kepala daerah seharusnya menunda perjalanan.
Kehadiran dan aksi nyata dalam menangani krisis adalah wujud empati dan amanah jabatan yang bernilai ibadah.
Ketidakhadiran Mirwan menimbulkan reaksi keras, termasuk dari Presiden Prabowo Subianto, yang meminta Mendagri Tito Karnavian menindak kepala daerah yang mengabaikan tanggung jawab saat bencana.
Secara hukum, langkah Mirwan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang dapat berujung pada sanksi pemberhentian sementara hingga tiga bulan.
Hal ini juga bertentangan dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2019, yang melarang izin perjalanan kepala daerah saat wilayahnya dilanda bencana.
Kasus ini menghadirkan pelajaran penting. Antara lain; kepemimpinan sejati diuji dalam krisis.
Integritas, akuntabilitas, dan empati bukan sekadar slogan, melainkan kewajiban nyata seorang pemimpin.
Bencana menyingkap siapa yang benar-benar hadir untuk rakyat dan siapa yang memilih menyelamatkan diri sendiri, menjadi cermin karakter yang sulit ditutup, sekaligus pengingat bahwa amanah jabatan adalah tanggung jawab moral dan spiritual.-***











