Untuk itu, langkah pertama yang harus diambil adalah rekonsiliasi moral — bukan sekadar rekonsiliasi kepemimpinan. Kadin harus kembali menegaskan dirinya sebagai organisasi independen, non-politis, dan berbasis pelayanan. Bukan rumah partai, bukan sayap kepentingan, melainkan ruang yang memerdekakan dunia usaha dari tekanan politik dan birokrasi. Kita harus berani mengatakan bahwa pengusaha bukan alat kekuasaan. Kita adalah tulang punggung ekonomi bangsa, dan Kadin seharusnya menjadi alat perjuangan kita — bukan sebaliknya.
Kadin, rumah yang Dirindukan:
Saya percaya, di tengah kekecewaan, masih ada harapan. Masih ada pengusaha-pengusaha muda yang idealis, masih ada tokoh-tokoh senior yang peduli pada pembinaan, dan masih ada semangat kebersamaan yang tersisa. Hanya saja, semuanya butuh wadah yang sehat untuk tumbuh.
Bayangkan jika Kadin kembali menjadi rumah yang terbuka:
tempat UMKM mendapat bimbingan digitalisasi, tempat startup bertemu investor,
tempat pengusaha tradisional belajar efisiensi,
tempat anak muda menemukan mentor,
dan tempat semua pelaku usaha bersatu membangun masa depan ekonomi bangsa.
Itulah rumah yang dirindukan.
Itulah Kadin yang seharusnya.
Kini, pertanyaannya sederhana namun mendalam:
Apakah kita masih memiliki Kadin yang menjadi rumah bersama?
Ataukah kita hanya memiliki gedung besar dengan nama yang megah, tetapi kosong dari semangat gotong royong?
Jika Kadin ingin kembali dirindukan, maka ia harus berhenti menjadi cermin ego dan kembali menjadi wajah kebersamaan.
Rumah bukan diukur dari megahnya bangunan, tapi dari hangatnya kebersamaan di dalamnya. Dan Kadin, jika ingin hidup kembali, harus memulihkan hangat itu — sebelum para pengusaha benar-benar pergi2 mencari rumah lain.***