Dari sisi psikologi modern, memberi dengan tulus terbukti menenangkan. Orang yang memberi tanpa pamrih mengalami penurunan stres dan peningkatan hormon bahagia.
Dalam sosiologi, masyarakat yang menanamkan budaya memberi cenderung memiliki solidaritas tinggi dan kepercayaan sosial yang kuat.
Sementara dalam komunikasi, keikhlasan tampak dalam bahasa hati — kata yang sederhana tapi lahir dari ketulusan selalu menyentuh lebih dalam dibanding seribu pidato yang penuh pencitraan.
Lalu mengapa ikhlas terasa sulit hari ini?
Karena kita hidup di zaman di mana segalanya ingin terlihat.
Sedekah difoto, kebaikan dipublikasikan, doa disiarkan.
Padahal yang paling indah dari cinta justru yang tak terlihat tapi terasa.
Keikhlasan adalah ruang paling sunyi antara hamba dan Tuhannya — tak perlu saksi, tak perlu tanda tangan.
Kita bisa mulai dari hal kecil: memberi senyum, menolong teman, mengasihi keluarga tanpa pamrih, mendahulukan orang lain meski kita juga butuh.
Itu yang disebut itsar — mendahulukan orang lain dalam keadaan sulit.
Di situlah letak keindahan iman.
Ikhlas, pada akhirnya, adalah cinta yang tak mencari apa-apa selain ridha-Nya.
Dan bila cinta itu sudah tertanam, maka hidup terasa ringan, memberi jadi bahagia, dan kehilangan pun tak lagi menyakitkan.
Sebab seseorang yang telah belajar ikhlas, tahu bahwa apa pun yang ia lepaskan karena Allah, takkan pernah benar-benar hilang — hanya berpindah tempat, menuju keabadian.
“Ikhlas, Tanda Cinta” bukan hanya judul — tapi jalan hidup.
Memberi bukan karena berlebih, tapi karena percaya: setiap yang keluar karena Allah akan kembali dengan cara yang lebih indah.****