Oleh : Subchan daragana
Pemerhati Sosial
Di era digital, setiap orang seolah memiliki panggung tanpa batas. Smartphone di tangan bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan pena yang menulis, kamera yang merekam, dan pengeras suara yang mampu menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Siapa pun kini bisa menjadi kreator, menyebarkan gagasan, cerita, dan narasi. Namun di balik kebebasan ini ada tanggung jawab besar: hisab atas setiap konten yang kita ciptakan.
Allah berfirman: “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7–8). Ayat ini menegaskan, tak ada satu pun ucapan atau tindakan yang luput dari catatan-Nya. Jika lisan saja akan dihisab, bagaimana dengan ribuan kata yang kita tulis, video yang kita unggah, atau gambar yang kita sebarkan?
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks digital, sabda ini menemukan bentuk barunya: Barangsiapa beriman, hendaklah ia mengunggah yang baik atau menahan diri. Sayangnya, ruang maya justru sering dipenuhi fitnah, ujaran kebencian, candaan yang menyinggung, hingga konten sia-sia yang menggerus akhlak.
Dulu lisan bisa hilang ditelan angin, kini ia menjelma menjadi jejak digital yang sulit dihapus.