Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial / Magister Komunikasi Universitas Bakrie
(Paradoks Digital, semakin terhubung secara digital, semakin terputus secara emosional )
Pemandangan yang semakin sering saya temui, satu keluarga duduk di meja makan, namun sunyi. Bukan karena tidak ada yang ingin berbicara, tetapi karena setiap kepala menunduk ke layar seperti berhala kecil yang menuntut pengabdian penuh. Pemandangan ini, yang dulu dianggap tak lazim, kini menjadi normal. Kita berdekatan, tetapi tidak hadir. Kita hidup bersama, tetapi hati kita saling berjauhan.
Lalu saya bertanya dalam hati,apakah ini tanda bahwa kita sedang berhenti menjadi manusia?
Kita sering mengira bahwa teknologi membuat hidup lebih mudah. Itu benar. Tetapi tidak pernah kita bayangkan, teknologi juga membuat hidup lebih cepat. Terlalu cepat. Kita dihujani informasi, gambar, suara, notifikasi tanpa jeda untuk bernapas. Otak kita dipaksa berjaga tanpa kesempatan untuk pulih. Dalam psikologi, ini disebut stimuli overload, rangsangan yang berlebihan tanpa ruang pemulihan.
Sherry Turkle menyebutnya “the flight from conversation”, pelarian dari percakapan. Kita lebih suka mengetik daripada menatap. Lebih suka mengirim emoji daripada memahami emosi. Lebih percaya pada algoritma daripada suara hati.
Dan tanpa sadar, kita membangun masyarakat yang bergerak cepat tapi rapuh.
Para sosiolog menyebut fenomena ini sebagai pergeseran struktur sosial. Hubungan manusia yang dahulu dibangun melalui kesabaran, waktu, dan kehadiran, kini digantikan oleh kecepatan, keterhubungan semu, dan interaksi singkat yang miskin kedalaman.
Zygmunt Bauman menggambarkannya sebagai liquid society, masyarakat yang cair, yang hubungan dan nilainya mudah berubah seperti air. Hari ini dekat, besok menghilang. Hari ini percaya, besok menyimpan curiga.
















