TERASJABAR.ID – Ketiadaan biaya tak boleh jadi alasan seorang anak harus putus sekolah dan tak melanjutkan hingga ke tingkat menengah atas (SMA atau SMK).
Sekalipun di lingkungan seorang anak tak ada sekolah negeri, harus dipastikan ia tetap bisa bersekolah dengan gratis di swasta.
“Ga boleh ada anak putus sekolah karena tak punya biaya. Jika di lingkungan anak itu tak ada sekolah negeri, pemerintah mesti menyekolahkannya di swasta tanpa dipungut biaya apapun seperti halnya ia bersekolah negeri,” kata Ketua Komisi V DPRD Jabar H. Yomanius Untung, kepada terasjabar.id
Ia mengakui, peluang anak dari keluarga miskin masuk sekolah negeri terbentur ketentuan data pokok pendidikan (dapodik) yang mengharuskan rombongan belajar (rombel) maksimal 36 anak.
“Untuk menjamin anak miskin bisa masuk, opsinya tambah kelas baru atau tambah jumlah siswa di setiap rombel.
Namun dua-duanya akan terbentur jumlah rombel satu angkatan yg maksimal 12 kelas per angkatan dan jumlah peserta 36 anak,” jelas legislator dari Partai Golkar ini.
“Ketentuan dapodik dari Kemendikbud ini tak boleh tutup peluang anak miskin masuk sekolah swasta dengan tetap mendapatkan pembiayaan dari Pemprov alias ia bisa ikut sekolah secara gratis.
Bahkan harus ada kepastian bahwa anak dari keluarga miskin ekstrim tak sekadar gratis sekolah, tapi juga ada uang saku. Ini udah beberapa kali dibahas tapi blm ada keputusan baik dari pusat maupun Pemprov Jabar,” ujar Untung yang juga Sekretaris Depudar SOKSI Jabar ini.
Persoalan kemiskinan ekstrim ini pun masih menyisakan problem.
Karena jika perhitungan tak cermat, bisa tak tepat sasaran.
“Katakanlah, mau ngambil data dari mana data anak keluarga miskin esktrim itu? BPS? Kemensos? Atau data yang ada di setiap desa dan kelurahan? Karena masing datanya bisa berbeda.
Harus juga diertimbangkan, jumlah keluarga miskin ekstrim itu dinamis. Ada keluarga yang mengarah ke lebih baik, tapi ada juga yang semakin terpuruk,” kata anggota DPRD asal dapil Subang-Majalengka-Sumedang ini.***



















