Oleh Taufik Abriansyah (Wartawan senior).
Gowes Cimahi-Papua memasuki hari ke-17. Ini ceritanya. Suara azan Subuh dari mushala di sebelah rumah Mas Hariyadi membangunkan saya pagi ini. Bergegas saya ke kamar mandi. Hendak ngejar Subuh berjamaah di masjid.
Tapi sayangnya ritual di kamar mandi pagi ini agak lama. Dari shalawat dan pujian dalam bahasa Jawa, suara dari speaker mushala sudah terdengar iqamah. Saya melewatkan kesempatan Subuh berjamaah.
Saat sarapan, kami meneruskan cangkrukan kami tadi malan. Cangkrukan adalah istilah di Jawa Timur untuk obrolan ngalor-ngidul tanpa tema. Jagongan kata orang Jawa Tengah. Ngadu bako kata orang Sunda.
Mbak Heni, istri Mas Hariyadi, memasak daun kelor untuk sarapan pagi ini. Seingat saya baru kali ini saya makan sayur daun kelor. Istimewanya, daun kelor ini ditanam di halaman rumah Mas Hariyadi sendiri.
Konon daun kelor punya khasiat khusus. Terutama untuk orang yang punya “ilmu”. Waktu saya makan, daun kelor yang ditumis itu rasanya mirip antara daun bayam dengan daun katuk.
Dari cangkrungan kami tadi malam dan pagi ini, ternyata saya dengan mas Hariyadi ini pernah bertemu langsung sekian puluh tahun silam. Waktu saya safari dengan Farid dan Budi keliling Jawa tahun 1988 atau 1989 sempat mampir rumah Norman Wijaya di Semarang. Nah ternyata saat itu Mas Hariyadi yang kuliah di Undip ngekost di rumah Norman.
Dengan Farid dia malah berteman sejak SMA. Sedangkan saya baru berteman saat kuliah.
Selain itu, Hariyadi juga berteman dengn Dadang Rachmat Hidayat, karena sama-sama pernah bareng pendidikan Menwa. Dadang kini Dekan Fikom Unpad yang juga melepas touring saya ke Merauke.
Karena makin banyak hal yang menghubungkan, pembicaraan kami makin hangat. “Wah saya harus pamit. Kalau kita ngobrol terus bisa kesiangan, khawatir dapat hujan,” kata saya.
Sekitar pukul 07.30 saya mulai bergerak meninggalkan rumah Mas Hariyadi yang maha luas itu. Luasnya mencapai 7.500 persegi. Mbak Heni memberi bekal pisang “Solok” yang ditanam di halaman rumah itu. Diberi nama pisang Solok karena bibitnya berasal dari temannya yang berasal dari Solok, Sumatera Barat. Bentuknya seperti pisang ambon tapi berukuran lebih kecil.
Dari rumah Mas Hariyadi saya menelusuri jalan kampung. Melewati hamparan sawah dan menembus kebun tebu. Di dekat plang tulisan KM 0 Kutorenon, seorang bapak yang sedang berjalan kaki menyapa saya..
“Pundi, le..,” tanyanya.
“Bandung,” jawab saya.
Mendengar saya dari Bandung bapak itu lalu berbahasa Indonesia. “Selamat jalan. Hati-hati,” katanya.
Jalan kampung ini tembus langsung ke pinggiran kota Lumajang. Hanya beberapa meter saja mengayuh ketemu Pertigaan Taman Bumi Arya Wiraraja dengan jalan yang menghubungkan ke Jember.
Saya mengayuh teratur karena hampir sepanjang ruas ini konturnya datar. Hanya saja kadang ada lubang atau bagian yang bergelombang di lis jalan yang saya jadikan sebagai trek saya. Demi keamanan saya berusaha untuk melintasi jalan di dalam lis jalan berwarna putih.
Di Masjid Jami Hannah, Kaliboto Lor, Jatiroto, baru saya berhenti. Untuk minum dan memeriksa maps. Ternyata Pabrik Gula Jatiroto tinggal beberapa meter lagi di depan saya. Saya ingat Bu Dini, tetangga dan teman badminton istri saya, pernah bercerita dulu ayahnya pernah bertugas di PG Jatiroto.
Beberapa meter mengayuh saya ketemu lampu merah persimpangan ke arah PG Jatiroto. Saya sempat memperhatikan plang nama yang tertulis ternyata pabrik ini juga memproduksi alkohol dan spiritus.
Setelah melewari gerbang ketemu alun-alun di sebelah kanan. Ada miniatur lokomotif menjadi monumen di situ. Sejumlah anak sekolah dasar menyapa saya bertanya ini itu.
Lalu sifat iseng saya keluar.
“Saya dari Bandung, Bandung ada di provinsi mana ?,” tanya saya.
Sejurus mereka diam. Lalu satu anak pelan menjawab: “Jawa Barat,”
“Iya benar. Ini saya kasih hadiah,” kata saya sambil memberi gantungan kunci. Melihat ada hadiah, anak-anak yang lain jadi kepingin.
“Siapa yang tahu nama gubernur Jawa Barat,” tanya saya. Mereka lalu berpandangan.
Salah satu kemudian mengacungkan tangan. “KDM !,” teriaknya. Wah popularitas bapa aing sampai ke Jatiroto.
Saya meneruskan mengayuh sepeda ke arah pasar. Semula saya ingin sampai lokasi pabrik, tapi jalannya macet panjang karena ada kereta api yang mau lewat, saya akhirnya balik kanan. Kembali ke jalan raya.
Tak berapa lama sudah bertemu dengan gapura batas Kabupaten Jember. Saya parkirkan sepeda, bersiap ambil foto. Seorang pria bermotor yang sedang melaju kemudian berhenti. “Saya federalist juga pak, tinggal di Jatiroto,” katanya. Pria bernana Agung ini lalu membantu saya mengambil foto.
Setelah itu saya melaju lagi. Baru berhenti sekitar jam 11.00 di Masjid Raudlatul Abidin, Gambirono. Anak-anak SD berlogat Madura bertanya: “Dari mana pak ?” tanyanya.
Di masjid ini tersedia air mineral cup dan roti bungkus untuk jum’at berkah. Sayangnya khutbah disampaikan khotib dengan cara membaca teks berbahasa Arab. Bukan khutbah dalam bahasa Jawa.
Saya masuk kota Jember pas waktu Asar. Hanya mampir sebentar di Alun-alun saya lanjut lagi ke jalan arah Banyuwangi. Saya sudah janjian dengan Pakde Dumehno, seorang peturing member KSTI (Komunitas Sepeda Touring Indonesia) yang pernah bertemu saat beliau melintas Cimahi.
Di daerah Wirolegi Pakde Dumehno mencegat saya. Kemudian saya diarahkan masuk ke dalam kebun tempat anak-anak belajar: Al Kautsar Education Center. Di dalam area itu ada Rumah Pohon.
Zulkarnain, pemilik Rumah Pohon yang juga pengasuh Al Kautsar Education Center menyambut saya dengan hangat. Selamat datang. Terima kasih sudah berkenan singgah di tempat kami,” katanya.
Rumah Pohon ini memang menjadi tempat persinggahan favorit para peturing. Baik dari nusantara maupun peturing internasional. Fotonya sering saya lihat di medsos. Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa saya memilih jalur Probolinggo – Lumajang – Jember – Banyuwangi.
Rumah Pohon itu berada di antara pohon jati, sengon, dan mahoni. Rasanya adem nian. Di kolongnya ada susunan kursi tempat kami ngobrol-ngobrol.
Selepas Isya, Om Zul mendaulat saya untuk berbicara di depan anak-anak Al Kautsar Educational Center. “Cerita pengalaman Om bisa jadi motivasi buat mereka,” katanya.
Saya sempat ragu. Berbicara di depan puluhan anak dengan rentang usia 4 sampai 15 tahun harus punya nyali tersendiri. Tapi karena diminta bercerita pengalaman, akhirnya saya memberanikan diri. Jadilah mendadak jadi pembicara.
Jember, 16 Mei 2025
