Ini bukan hanya masalah psikologi, tetapi juga masalah sosial. Ketika orang tua tenggelam dalam layar, anak kehilangan figur kelekatan. Ketika pasangan sibuk dengan ponsel masing-masing, percakapan emosional menipis. Ketika keluarga mulai jarang berbicara, rumah berubah menjadi tempat singgah, bukan tempat pulang. Padahal penelitian menunjukkan: hubungan keluarga yang kuat bukan terbentuk dari momen besar, tetapi dari percakapan kecil yang rutin. Dan itulah yang secara perlahan hilang.
Dari perspektif Islam, fenomena ini menyerupai apa yang disebut sebagai ghaflah, kealpaan yang membuat manusia lupa prioritas dan lupa diri. Al Qur’an menggambarkan manusia yang “lalai dalam permainan dan kesenangan dunia” (QS. Al-An’am: 32). Keterlaluan menatap layar dapat menjadi bentuk modern dari kelalaian itu. Kita sibuk melihat dunia luar sampai lupa melihat anak di depan mata. Kita sibuk memikirkan postingan orang lain sampai lupa merawat batin sendiri. Kita mencari tenang pada layar, padahal ketenangan tidak pernah datang dari benda yang selalu bergerak.
Ilmu Psikologi menjelaskan bahwa doomscrolling membentuk pola baru yang disebut popcorn brain: otak yang terbiasa dengan stimulus cepat sehingga tidak betah pada aktivitas panjang dan hening. Ini menjelaskan mengapa orang tua yang dulu rajin membaca kini kesulitan fokus, atau mengapa banyak pasangan kini cepat lelah berdiskusi. Perlahan lahan, kita sedang kehilangan ketahanan mental untuk hadir dalam percakapan yang utuh.
Namun kabar baiknya, kita tidak perlu melawan teknologi, kita hanya perlu mengambil kembali kendali. Kita bisa memulai dari hal sederhana, menaruh ponsel jauh dari jangkauan saat makan, melarang layar satu jam sebelum tidur, atau membuat ritual harian di mana anak mendapat waktu bicara tanpa gangguan. Kita bisa mempraktikkan “ruang hening beberapa menit” setiap hari tanpa layar, sekadar untuk merasakan kembali diri sendiri. Langkah kecil seperti ini punya dampak besar, karena kehangatan keluarga bertumbuh dari perhatian kecil yang diberikan secara konsisten.
Jika doomscrolling adalah bentuk pelarian, maka solusi utamanya adalah keberanian untuk hadir. Hadir pada percakapan, hadir pada tatapan anak, hadir pada pasangan, dan hadir pada diri sendiri. Karena keluarga tidak menuntut kesempurnaan mereka hanya membutuhkan kita yang hadir fisik dan hati.
Pada akhirnya, rumah tidak akan runtuh oleh gempuran teknologi, tetapi bisa runtuh oleh perhatian yang terus terpecah. Dunia digital memang tidak akan melambat, tetapi kita bisa memilih untuk tidak ikut terseret. Kita bisa memilih hening di tengah kebisingan, hadir di tengah derasnya notifikasi, dan kembali menjadikan keluarga sebagai tempat pulang yang hangat, bukan sekadar tempat mengisi daya ponsel.
Kadang, langkah paling berani di era digital adalah meletakkan ponsel, dan menatap wajah orang yang kita sayangi lebih lama dari layar.***

















