(Saat kita ada , tapi tak hadir)
Oleh: Subchan Daragana
Pemerhati Sosial & Magister Komunikasi – Universitas Bakrie
Di banyak rumah hari ini, ada pemandangan yang makin akrab seorang ayah duduk di sofa dengan kepala menunduk menatap layar, seorang ibu rebahan sambil menggulir video tanpa henti, sementara anak-anak bermain sendiri sambil sesekali melirik, berharap ada yang melihat atau mendengar mereka. Kita menyebutnya “istirahat sejenak”, padahal sering kali itu pelarian halus dari lelah, dari tuntutan hidup, atau dari diri sendiri. Kita merasa sedang rehat, padahal pikiran justru terus bekerja mengikuti arus konten yang tidak ada ujungnya.
Fenomena ini dikenal sebagai ” DOOMSCROLLING “, yaitu kebiasaan menggulir layar tanpa sadar, meski isi beritanya sering negatif, memicu cemas, bahkan melelahkan mental. Yang berbahaya bukan hanya kontennya, tetapi ketidakmampuan kita berhenti. Para ahli saraf menyebut bahwa setiap guliran layar melepaskan dopamin hadiah kecil yang membuat kita merasa nyaman sesaat. Otak kita lama kelamaan belajar bahwa scrolling adalah cara tercepat untuk menghilangkan jenuh, gelisah, dan rasa tidak ingin menghadapi kenyataan. Akhirnya, menggulir layar menjadi semacam “pelarian emosional” yang terlihat wajar, padahal perlahan tapi pasti merusak ritme kehidupan rumah tangga.
Di ruang keluarga, doomscrolling melahirkan jenis kesunyian baru. Kesunyian yang bukan karena tidak ada orang, tetapi karena tidak ada yang benar-benar hadir. Sosiolog keluarga menyebut fenomena ini sebagai technoference gangguan teknologi yang masuk di antara relasi rumah tangga. Banyak pasangan kini menjauh bukan karena konflik besar, tetapi karena merasa “tidak diperhatikan”. Anak-anak pun tumbuh dengan memahami bahwa perhatian orang tua itu terbagi-bagi, terselip di antara notifikasi dan feed media sosial.
Komunikasi keluarga menjadi fragmentaris. Dulu meja makan adalah ruang cerita; kini ruang diam karena semua sibuk menatap layar masing-masing. Dulu ruang TV menjadi tempat tertawa bersama; kini setiap orang punya dunia kecil di smartphone. Ada pasangan yang tidur berdampingan, tapi masing-masing terhubung dengan dunia lain. Ada anak yang duduk di samping ibunya, tapi tidak pernah ditatap. Dampaknya jelas kehangatan keluarga perlahan terkikis, digantikan oleh keheningan yang lebih sunyi dari kesepian itu sendiri.
Sosiologi media memandang doomscrolling sebagai gejala ekonomi perhatian. Dalam sistem ini, perhatian manusia adalah komoditas yang diperebutkan platform digital. Algoritma bekerja 24 jam, mempelajari perilaku kita, menyajikan konten yang memancing emosi agar kita terus bertahan di aplikasi. Kita mengira sedang memilih, padahal diarahkan. Kita mengira sedang hiburan, padahal sedang disedot perlahan-lahan. Tanpa sadar, orang tua yang hanya ingin “lihat sebentar” berubah menjadi pengguna pasif yang kehilangan kendali atas waktunya sendiri.

















