Kasus ini menyeret nama TSI karena OCI disebut pernah bekerja sama dengan TSI untuk pertunjukan sirkus. Para korban mengaitkan dugaan eksploitasi dengan lingkungan kerja di bawah pengelolaan OCI, yang menurut mereka melibatkan pelatih dan pengelola yang bekerja untuk kepentingan pihak tertentu, termasuk TSI. Namun, TSI melalui pernyataan resminya membantah keterlibatan langsung dalam kasus ini, menyatakan bahwa OCI adalah entitas terpisah dan mereka tidak memiliki kendali atas praktik internal sirkus tersebut. TSI juga menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan pihak berwenang guna mengklarifikasi tuduhan.
4. Tuntutan dan Langkah Hukum
Para eks pemain menuntut keadilan, termasuk:
- Pengakuan resmi atas pelanggaran HAM yang mereka alami.
- Kompensasi atas eksploitasi ekonomi dan trauma yang diderita selama puluhan tahun.
- Pemulihan identitas, karena banyak korban tidak memiliki dokumen resmi seperti akta kelahiran.
- Penyelidikan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terlibat, termasuk pelatih dan pengelola OCI.
Komnas HAM telah menyatakan akan menindaklanjuti laporan ini dengan membentuk tim investigasi. Selain itu, para korban juga didampingi oleh organisasi HAM dan advokat untuk memperjuangkan hak mereka melalui jalur hukum.
5. Respons Publik dan Dampak Sosial
Kasus ini memicu kemarahan di media sosial, dengan tagar seperti #JusticeForCircusVictims dan #StopEksploitasi trending di platform X. Banyak netizen menyerukan boikot terhadap TSI hingga kasus ini selesai, sementara lainnya meminta pemerintah untuk lebih ketat mengawasi industri hiburan yang melibatkan pekerja rentan. Aktivis HAM juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih kuat untuk melindungi anak-anak dan pekerja di sektor informal seperti sirkus.
6. Konteks Sejarah OCI
OCI dikenal sebagai salah satu sirkus terbesar di Indonesia pada masanya, beroperasi sejak 1960-an hingga beberapa dekade kemudian. Sirkus ini terkenal dengan pertunjukan akrobat, atraksi hewan, dan penampilan berisiko tinggi. Namun, di balik gemerlap panggung, cerita para pemain mengungkap sisi gelap industri ini, termasuk perekrutan anak-anak dari keluarga miskin atau yatim piatu yang kemudian dipekerjakan tanpa hak dasar seperti pendidikan dan gaji.