Sebaliknya, hilangnya empati menimbulkan kesepian di tengah keramaian. Orang yang tidak didengarkan akan merasa tidak berarti. Orang yang tidak dipahami akan menutup diri. Dan masyarakat yang kehilangan empati perlahan berubah menjadi kumpulan individu yang hidup berdampingan, namun tidak saling terhubung.
Mereka mungkin tersenyum di media sosial, tapi hatinya hampa. Mereka tertawa di depan orang lain, tapi menangis dalam diam.
Apakah ini bukan tragedi kemanusiaan paling halus namun paling menyakitkan?
Mengapa empati hilang?
Barangkali karena kita terlalu sibuk mengejar apa yang terlihat, hingga lupa memelihara yang tak terlihat: hati.
Budaya individualistik membuat kita menilai segalanya dari sudut “aku”. Dunia digital menjauhkan kehadiran batin — kita melihat wajah orang lain, tapi bukan jiwanya.
Kita hidup cepat, tapi tidak dalam. Kita tahu banyak, tapi memahami sedikit.
Padahal, di balik setiap orang ada cerita, dan di balik setiap cerita ada luka yang mungkin hanya butuh sedikit rasa dari kita.
Empati tidak memerlukan biaya. Ia hanya butuh hati yang mau berhenti sejenak untuk mendengar, bukan saja lewat telinga, tapi lewat hati.
Kadang, satu kalimat sederhana seperti “Aku paham perasaanmu” bisa menjadi obat bagi jiwa yang hampir menyerah.
Dan satu tindakan kecil — mendengarkan tanpa menghakimi, menenangkan tanpa menasihati — bisa menjadi sedekah hati yang tak ternilai.
Mungkin sudah saatnya kita belajar kembali merasakan.
Belajar mendengarkan bukan untuk menjawab, tapi untuk memahami.
Belajar hadir bukan untuk berbicara, tapi untuk menenangkan.
Belajar melihat bukan dengan mata, tapi dengan hati.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Itulah puncak empati: menjadikan perasaan orang lain sebagai bagian dari diri kita.
Sebab siapa yang kehilangan empati, ia sesungguhnya kehilangan sebagian dari kemanusiaannya.
Semoga Allah melembutkan hati-hati kita, agar tidak hanya tajam dalam berpikir, tapi juga peka dalam merasakan.
Agar kita tidak hanya pandai berbicara, tapi juga pandai memahami.
Karena di dunia yang semakin bising, empati adalah suara lembut yang paling menenangkan. ***