Di luar, investor dan pelaku usaha pasti garuk kepala. Bagaimana mungkin organisasi sebesar KADIN Jabar, yang seharusnya jadi mitra strategis pemerintah dan dunia usaha, justru sibuk bertarung klaim legitimasi? Bukannya fokus pada isu besar — investasi, digitalisasi, energi terbarukan, UMKM — malah habis energi untuk berebut kursi ketua.
Lebih parah lagi, dualisme ini bisa mencederai reputasi kelembagaan. Pemerintah daerah pun jadi serba salah: harus mengakui yang mana? Kalau pilih satu, dianggap berat sebelah. Kalau diam saja, dianggap lepas tangan.
Sebenarnya, peribahasa sudah mengingatkan: “Hati-hati jangan meludah ke atas, nanti kena ludah sendiri.” Begitu pula KADIN Jabar. Jika terus sibuk bertarung, bukan hanya wajah organisasi yang tercoreng, tapi martabat dunia usaha Jawa Barat ikut dipermalukan.
Bukankah para arif selalu berkata, “dua matahari tak bisa terbit di langit yang sama.” Jika langit KADIN Jabar hari ini penuh kabut perselisihan, maka sinar terangnya akan tertutup oleh ego dan ambisi. Padahal, dunia usaha hanya butuh satu cahaya untuk menuntun arah, bukan dua Matahari yang justru saling membakar.
Kalau memang harus dimulai dari nol, semoga kali ini benar-benar diisi penuh Bensin Persaudaraan, bukan sekadar angka digital di dispenser Pertamina. Sebab bensin persaudaraan jauh lebih berharga daripada kursi kekuasaan. Dan bila masih ada yang keras kepala, biarlah sejarah jadi cermin: bahwa siapa yang merobek kain persatuan, pada akhirnya hanya akan menjahit kain malu untuk dirinya sendiri.****