Oleh: H. Raditya Indrajaya
Di Jawa Barat, musyawarah yang seharusnya menjadi pesta demokrasi dunia usaha berubah jadi panggung komedi. Bayangkan, di hari yang sama, ada dua Musprov KADIN Jawa Barat. Satu digelar di Bogor, satu lagi di Bandung. Dua-duanya mengklaim sah, dua-duanya aklamasi, dua-duanya melahirkan “Ketua Umum KADIN Jabar”.
Di Bogor, terpilihlah Almer Faiq Rusydi. Di Bandung, lahirlah Nizar Sungkar. Dua-duanya merasa mendapat mandat. Jawa Barat sekarang punya dua channel KADIN, tinggal pilih: mau nonton yang versi Bogor atau versi Bandung?
Yang bikin geli sekaligus getir, kedua Muprov sama-sama dihadiri oleh KADINDO. Jadi KADIN pusat pun seolah main dua kaki. Tambah seru lagi, di Bogor hadir pula Gubernur Jawa Barat. Lengkap dengan pejabat dan tokoh nasional. Kehadiran ini membuat forum Bogor seolah-olah dilegitimasi oleh Pemprov.
Di sisi lain, di Bandung muncul tanya: “Mengapa Gubernur berat sebelah? Kenapa hanya hadir di Bogor, padahal di Bandung juga Musprov sah dengan peserta resmi?”
Sejarah pun berulang. Tahun lalu dualisme ini sudah terjadi, dan kini panggungnya diputar lagi. Kalau Pertamina bilang: “mulai dari nol.” Ya betul, pertarungan dimulai lagi dari nol, seolah bensin organisasi ini habis terbakar oleh konflik internal yang tak kunjung selesai.
Ironinya, saat dunia usaha berharap KADIN Jabar jadi rumah besar, yang ada malah rumah retak dengan dua kepala keluarga. Satu bikin dapur di Bogor, satu bikin sumur di Bandung. Lalu para anggota bingung: mau makan dari dapur siapa, mau minum dari sumur siapa?