TERASJABAR.ID – Dimas Kanjeng Taat Pribadi, sosok yang sempat menghebohkan publik pada 2016 karena kasus penipuan penggandaan uang dan pembunuhan, resmi bebas bersyarat sejak April 2025.
Setelah menjalani dua pertiga dari hukuman 21 tahun penjara, ia kini kembali memimpin Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Kehadirannya membawa semangat baru bagi para pengikut dan santri, dengan aktivitas keagamaan dan sosial di padepokan yang kembali menggeliat.
Menurut pengurus padepokan, Bambang, suasana di padepokan menjadi lebih hidup sejak kepulangan Dimas Kanjeng.
“Kegiatan mengaji memang sudah ada meski beliau tidak ada, tetapi setelah beliau kembali, suasananya jauh lebih semarak,” ujar Bambang. Kegiatan seperti pengajian, tahfidz Al-Qur’an, dan istigasah kini lebih sering digelar. Selain itu, padepokan juga meningkatkan aktivitas sosial, seperti membantu warga sakit, memperbaiki jalan desa, hingga mendukung ekonomi lokal melalui kegiatan santri di pasar dan warung makan sekitar.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi ditangkap pada 22 September 2016 atas kasus penipuan bermodus penggandaan uang yang berujung pada pembunuhan dua pengikutnya, Ismail Hidayah dan Abdul Gani. Keduanya dibunuh karena dianggap membongkar praktik penipuan di padepokan. Dimas Kanjeng terbukti sebagai otak pembunuhan, memerintahkan sembilan anggota Tim Pelindung untuk melakukannya dengan bayaran total Rp320 juta.
Pada 2017, ia divonis 18 tahun penjara untuk kasus pembunuhan, ditambah 3 tahun untuk kasus penipuan, sehingga total hukumannya menjadi 21 tahun. Namun, berkat perilaku baik dan remisi, ia bebas lebih cepat.
Kepulangan Dimas Kanjeng disambut positif oleh para pengikutnya. Daeng Uci, menantu sekaligus juru bicara keluarga, menyatakan bahwa Dimas Kanjeng kini fokus memperdalam dan menyebarkan ajaran agama. “Alhamdulillah, selama di tahanan, beliau berkelakuan baik dan berhak mendapatkan potongan remisi,” katanya. Padepokan pun diklaim lebih terbuka, dengan hubungan yang harmonis bersama warga sekitar. “Kami membantu warga yang membutuhkan, seperti biaya rumah sakit dan perbaikan jalan,” tambah Bambang.
Namun, kebebasan Dimas Kanjeng juga memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Meskipun aktivitas padepokan saat ini terlihat berfokus pada ibadah dan kegiatan sosial, banyak yang masih mempertanyakan apakah praktik “penggandaan uang” yang dulu melekat pada namanya akan muncul kembali.
Seorang mantan santri pernah mengaku menjadi korban penipuan, dan penelitian Balitang Diklat Kemenag pada 2016 menyebutkan bahwa kegiatan keagamaan di padepokan hanyalah kedok untuk menutupi praktik manipulatif. MUI juga telah menyatakan bahwa ajaran di padepokan menyimpang, termasuk praktik seperti shalawat fulus dan klaim memiliki “bank gaib”.
Meski demikian, hingga kini belum ada laporan aktivitas mencurigakan sejak kepulangan Dimas Kanjeng. Warga sekitar juga menyatakan bahwa hubungan mereka dengan padepokan tetap baik, bahkan merasa terbantu secara ekonomi dan sosial. Kembalinya Dimas Kanjeng menandai babak baru bagi padepokan ini, tetapi masyarakat dan pihak berwenang tetap perlu waspada agar sejarah kelam tidak terulang.