Inilah yang disebut para psikolog sebagai dopamine loop: setiap notifikasi memberi hadiah kecil bagi otak, lalu tubuh menagih lebih banyak. Akhirnya, bukan lagi kita yang mengendalikan layar, melainkan layar yang mengendalikan kita.
Riset Psikologi: Validasi yang Membutakan
Fenomena ini bukan asumsi, tetapi telah diteliti secara ilmiah.
- Perbandingan Sosial dan Identitas Palsu
Penelitian The Role of False Self-Presentation and Social Comparison in Excessive Social Media Use (MDPI, 2025) menemukan bahwa pengguna media sosial sering menampilkan diri palsu (false self-presentation) dan membandingkan diri dengan orang lain. Akibatnya, mereka semakin terikat pada pencitraan dan validasi digital. - Gangguan Perhatian dan Kecemasan
Studi di arXiv (2024) menyebutkan bahwa konten singkat ala TikTok dan Reels dapat menurunkan rentang perhatian, meningkatkan impulsivitas, dan bahkan memicu kecemasan. Ini semua akibat otak terbiasa dengan rangsangan dopamin instan. - Harga Diri yang Rapuh
Penelitian di Pakistan (2024) menunjukkan bahwa sering membandingkan diri di media sosial berkorelasi dengan rendahnya harga diri dan meningkatnya rasa takut dievaluasi negatif. Artinya, manusia makin cenderung mengejar “like” agar merasa berharga.
Semua riset ini menunjukkan satu hal: manusia makin sibuk mencari pengakuan manusia, hingga kehilangan pijakan keikhlasan.
Perspektif Islam: Riya dan Amal Tersembunyi
Islam sejak awal memperingatkan tentang bahaya riya—amal yang dilakukan demi pandangan manusia. Rasulullah SAW menyebut riya sebagai “syirik kecil” karena ia merusak niat yang seharusnya hanya untuk Allah. Allah berfirman:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Ma’un: 4–7)
Amal yang dipertontonkan demi validasi manusia kehilangan nilainya di hadapan Allah. Justru, amal yang tersembunyi lebih bernilai. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Barangsiapa memperlihatkan amalnya, Allah akan memperlihatkan (aibnya). Barangsiapa beramal dengan riya, Allah akan membongkar (niat buruknya).” (HR. Muslim)
Literasi Digital Islami: Benteng di Era Exposure
Riset lokal menegaskan pentingnya literasi digital Islami bagi umat. Studi di SMA Al-Muslim, Bekasi (2023), menunjukkan bahwa literasi digital Islami membantu remaja lebih kritis dalam menyaring konten negatif, menjaga identitas keislaman, dan menghindari budaya pamer.
Prinsip literasi digital Islami meliputi:
Kognitif: memahami cara kerja algoritma dan dampaknya.
Teknis: mampu menggunakan platform dengan bijak.
Etis: sadar akan dampak ujaran kebencian, hoaks, pornografi, dan ghibah digital.
Spiritual: menimbang setiap aktivitas digital dengan nilai syariat—apakah mendekatkan atau menjauhkan dari Allah.
Dai dan pendidik digital pun dituntut untuk cerdas. Dakwah bukan sekadar viral, tapi membentuk karakter. Strategi dakwah di TikTok, misalnya, bukan hanya membuat konten singkat, tetapi juga menjaga agar pesan tidak ikut terjerumus dalam budaya validasi.
Dosa yang Mengalir lewat HP :
Seiring derasnya manfaat digital, ada pula dosa-dosa yang mengalir tanpa disadari:
Ghibah digital: menggunjing lewat chat atau komentar.
Ujaran kebencian: menyebarkan permusuhan dan fitnah.
Hoaks: membagikan berita tanpa verifikasi.
Riya digital: amal yang dipertontonkan demi pujian.
Mempertontonkan aurat/kecantikan: menjadikan tubuh sebagai konten.
Pornografi: industri dosa yang subur di dunia maya.
Semua ini membuat kita semakin bergantung pada validasi manusia. Pertanyaannya: di mana Allah dalam hati kita ketika jemari sibuk mencari pengakuan?
Solusi: Amal Rahasia di Era Terbuka
Menjaga keikhlasan di era digital bukan mustahil, meski penuh ujian. Ada beberapa langkah yang bisa menjadi benteng:
- Jaga niat sejak awal. Tanyakan pada hati: untuk Allah atau manusia?
- Latih amal rahasia. Sisakan sedekah, doa, atau dzikir yang hanya Allah tahu.
- Kurangi budaya pamer. Bedakan antara berbagi inspirasi dan mencari pujian.
- Dzikir digital. Jadikan HP sebagai pengingat Allah: aplikasi Qur’an, kajian online, alarm shalat.
- Muhasabah rutin. Periksa hati setelah beramal: lebih senang Allah tahu, atau lebih lega manusia melihat?
Epilog: Allah atau Like?
Era digital menghadapkan kita pada pertanyaan sederhana tapi mendasar: kita mengejar Allah, atau mengejar like? Layar bisa padam, algoritma bisa berubah, akun bisa terhapus. Tetapi catatan amal di sisi Allah tak pernah keliru. Amal yang ikhlas, meski kecil dan tak terlihat manusia, jauh lebih bernilai daripada amal besar yang viral namun kosong di hadapan-Nya.
Mari jadikan layar HP bukan panggung riya, melainkan jalan menuju surga. Karena pada akhirnya, validasi sejati bukan dari manusia, melainkan dari Allah yang Maha Melihat.***